Preloader logo

MENGAPA BUYA SYAFI’I BERPOSISI MASBUQ?

Kesalahan Ahok yang demikian terang benderang membuat panik dan bingung tim kampanye dan pendukungnya. Ragam pembelaan dan segala cara upaya “pembersihan” dicoba mereka lakukan. Setelah gagal pembelaan dengan memlintir fakta-fakta “masalah penafsiran” oleh “Intelektual Terbelakang” dan “Mujahid Honorer”, mereka merancang skenario distraksi (mengalihkan perhatian) dan mendeskreditkan gerakan umat Islam dalam Aksi Bela Islam I (14/10/2016) dengan sepetak taman dimanipulasi. Namun, usaha ini pun tampaknya GaTot (Gagal Total). Selanjutnya, mereka mencoba menggoyang dan mendelegitimasi keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Cara ini juga mengalami kegalalan, karena MUI dipastikan tidak akan mencabut sikap tegasnya terhadap dugaan penistaan Al-Quran oleh Ahok.

Usaha mereka tampaknya tak berhenti sampai di situ. Pasalnya, ketika umat Islam bermaksud melaksanakan AKSI BELA ISLAM II  pada Jumat (4/11/2016), beragam upaya provokasi dan penggembosan juga dilakukan dengan melempar berbagai isu yang menyesatkan, mulai dari isu bahwa aksi ini ditunggangi dan dibiayai kepentingan politik tertentu, berlandasan sentimen SARA dan bertujuan memecah belah persatuan bangsa, hingga diyakini akan berlangsung ricuh.

Alhamdulillah ternyata semua isu menyesatkan ini tidak mendegradasi semangat jutaan peserta aksi dari berbagai pelosok di tanah air, yang memang hendak mendukung negara menindak tegas dugaan penistaan agama itu. Bahkan semua peserta aksi dalam jumlah jutaan itu cukup santun dan damai dalam melakukan aksinya.

Tak senang dengan sikap DAMAI DAN BERADAB yang ditunjukkan umat Islam dalam aksi itu, mereka berupaya menghasut perseteruan antar elemen sesama umat Islam peserta aksi, khususnya dengan mahasiswa muslim, di satu sisi, perseteruan antara elemen umat Islam dan aparat kepolisian dan TNI pada sisi lainnya. Namun, upaya itu pun tidak berhasil karena tragedi 4 Nov 2016 itu tidak berlangsung lama dan keadaan dapat terkendali.

Pasca tragedi ini diharapkan seluruh rakyat Indonesia dan semua komponen bangsa, terutama para tokoh agama dan petinggi kepolisian agar menciptakan suasana yang lebih kondusif, dengan tidak mengembangkan tafsir terhadap penyataan Ahok ketika mengutip surat Al-Maidah ayat 51. Sebab, hal itu bisa memicu polemik baru.

Harapan itu antara lain disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir usai pertemuan dengan Presiden Jokowi di gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta, Selasa (8/11/2016).

“Kami berharap kepolisian tidak perlu mengembangkan tafsir-tafsir yang justru bisa menambah keraguan atau menimbulkan eskalasi baru mengenai pengusutan kasus ini. Ikuti apa yang sudah menjadi garis dari Presiden, usut kasus ini secara tuntas dengan tegas, cepat dan transparan,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari www.suara.com

Namun harapan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu boleh jadi bakal tak kesampaian. Pasalnya, kini muncul polemik baru antara Buya—panggilan akrab Syafii Maarif—dengan para ulama di MUI Pusat. Tokoh Muhamadiyyah yang kita segani dan hormati itu, memicu “perseteruan baru” melalui pernyataan beliau di salah satu TV swasta (tonton di sini) dan juga tulisan beliau tertanggal 3/11/2016, namun baru ditayangkan oleh berbagai media online dalam waktu berbeda. Misalnya, rmol.co (05 Nov 2016, 21:43:00 WIB)

Dalam salah satu butir tulisannya, Buya menyatakan:

“Dari berbagai sumber yang dapat ditelusuri via internet, keterangan  lengkap Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016 adalah sebagai berikut: “Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pakai surat al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya…” Perhatikan dengan seksama kutipan ini, apakah memang terdapat penghinaan terhadap al-Quran? Hanya otak sakit sajalah yang berkesimpulan demikian. Apalagi jika sampai menista Langit, jauh dari itu. Perkara dikesankan menghina ulama, saya tidak perlu bicarakan di sini, karena memang dalam sejarah Muslim sering bermunculan ulama jahat, penjilat penguasa dengan fatwa-fatwa murahannya.” Tulisan lengkap buya dapat dibaca di sini 

Tulisan Buya, juga masih ditayangkan oleh beberapa media online keesokan harinya (06 Nov 2016), seperti

kompasmetro.com, tajuk.id, senayanpost.com , entralbatam.co.id Demikian pula pada hari berikutnya (7/11/2016), misalnya tribunnews.com

Pada hari yang sama (7/11/2016), tulisan Buya mendapat tanggapan dari pihak MUI, yang diwakili oleh orang tua dan guru kita pula, KH. Didin Hafidhuddin, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Dalam pandangan KH. Didin, tulisan Buya Syafii dipandang tendensius dan menyakiti perasaan MUI.

Didin mengatakan, sudah mendengar dan membaca langsung pernyataan Ahok. MUI pun sudah mendiskusikan secara mendalam perkara pidato yang kontroversial itu.

“Pengurus MUI tidak ada yang penjilat apalagi mengeluarkan fatwa murahan,” tegasnya.

Dia melanjutkan, Buya khawatir MUI tidak berlaku adil kepada Ahok. Sementara, Buya sendiri tidak adil kepada MUI.

“Jadi jangan asal menuduh,” ucap KH. Didin. Tanggapan KH.Didin selengkapnya dapat dibaca di sini

Tanggapan KH. Didin juga ditayangkan oleh berbagai media online dalam waktu berbeda.

Selanjutnya, guna menjawab tulisan itu sekaligus mengklarifikasikan permasalahan serta menghindar dari prasangka yang tidak perlu, Buya Syafii Maarif menulis tanggapan balik, di antara butir tanggapannya sebagai berikut:

“Masalah utama yang sedang kita hadapi adalah apkh pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September memang mengandung unsur penghinaan atau penistaan terhadap al-Qur’an atau tidak. Kita pusatkan perhatian kepada masalah pokok ini. Tidak perlu meluas ke mana-mana karena bisa jatuh perdebatan berketiak ular.

Dalam penilaian saya, dalam pernyataan Ahok itu tidak terdapat unsur penghinaan. Di sini letak perbedaan pandangan antara saya dan MUI. Dan perbedaan itu sah. Oleh sebab itu mari kita pergi ke hulu masalah, jangan bermain di hilir, karena bisa bertele-tele.” Tanggapan balik Buya selengkapnya dapat dibaca di sini

Sikap Buya terhadap pandangan MUI, khususnya KH.Didin, dinyatakan pula secara lisan tadi malam, Selasa (8/11/2016) sebagai nara sumber dalam program TV One Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (11/10/2016). Tonton videonya di sini

Dampak Negatif jika Adzan Buya Masbuq

Sosok Buya Syafi’i sudah dikenal luas masyarakat sebagai seorang tokoh cendekia muslim modern. Bahkan, saat ini beliau sudah dianggap sebagai salah satu dari sedikit guru bangsa yang masih eksis. Maka tak heran jika pemikiran-pemikiran beliau hingga hari ini masih menjadi panutan, bahkan oleh Presiden Jokowi. Berangkat dari hal tersebut, sejatinya Buya “Muadzin Bangsa” yang tidak pernah telat dalam menanggapi situasi politik, agama dan kebangsaan. Bahkan, seringkali Buya tampil sebagai “Imam Berjamaah” ketika terjadi kekisruhan dalam kasus tertentu, misalnya soal kisruh KPK—Polri beliau menjadi Ketua tim Sembilan Presiden.

Hanya saja dalam mengumandangkan “Adzan Kebangsaan” itu beliau seringkali menggunakan “lagu adzan” berbeda dengan mayoritas muadzin lainnya, misalnya dalam kasus “kisruh keagamaan” Ahmadiyah, Buya Syafi’i merupakan tokoh yang memiliki pandangan berbeda dari kebanyakan tokoh Islam. Buya dalam pemikirannya melihat Ahmadiyah lebih baik dibiarkan berkembang sebab dalam Islam sendiri ada lebih dari 400 aliran. Dalam menanggapi syiah pun demikian. Buya sangat getol membela syiah. Buya menyebut syiah adalah mazhab ke lima dalam Islam.

Akhir-akhir ini Buya pun lebih banyak dikenal masyarakat sebagai tokoh pluralisme. Keberpihakan pada kaum minoritas dan perlawanannya terhadap segala bentuk monopoli kebenaran membuat dia tidak sungkan menegur siapapun.

Bagi bangsa Indonesia pada umumnya, umat Islam pada khususnya, tentu sah-sah saja Buya punya gagasan dan sikap berbeda dari kebanyakan tokoh Islam dalam menanggapi berbagai hal di bumi nusantara ini, tak terkecuali soal pernyataan Ahok tentang Al-Maidah:51. Namun yang jadi persoalan adalah posisi Buya, yang selama ini dikenal sebagai “Muadzin Kebangsaan” dan “Imam Berjamaah” tepat waktu, dipandang Masbuq dalam bersikap. Padahal persoalan Ahok akan berdampak besar, terus meluas dan boleh jadi dapat berimbas kepada stabilitas keamanan nasional.

Sejauh pengetahuan saya, Buya baru bersikap saat diundang Bung Karni Ilyas dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (11/10/2016), melalui studio Yogyakarta. Saat itu pun Buya mengakui belum mengetahui dengan sebenarnya pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Andaikan saja “Muadzin Kebangsaan” itu tepat waktu seperti biasanya, boleh jadi persoalan Ahok tidak perlu berlarut-larut. Isu penistaan agama tidak perlu melebar dan jadi tidak proporsional. Bahkan, boleh jadi “Adzan Awal” Buya dapat menghentikan rencana AKSI DAMAI DAN BERADAB besar-besaran yang dilakukan jutaan umat Islam seantero nusantara (4/11/2016).

Namun karena “Adzan Kebangsaan” itu berposisi masbuq—baru nyaring terdengar belakangan ini, terutama setelah mendekati waktu pelaksanaan AKSI Bela Islam II—alih-alih memperkuat dan merawat suasana yang lebih kondusif pasca  AKSI DAMAI DAN BERADAB, “Adzan Masbuq” Buya malahan menimbulkan kegaduhan baru di kalangan umat Islam akar rumput karena memicu “perseteruan” di antara sesama tokoh Islam.

Saya tidak tahu persis apa penyebab utama Buya mengambil “Posisi Masbuq” dalam menyikapi kasus yang tidak sederhana ini. Apakah karena gelar perkara Ahok akan segera ditabuh, dan beliau sebagai salah satu saksi ahli yang dapat meringankan pihak terlapor (Ahok)? Pastinya, saya bersedih menyaksikan babak baru polemik yang kontraproduktif ini. Semoga Buya senantiasa mendapatkan limpahan rahmat dan maghfirah Allah Swt.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}