Preloader logo

Manuver Strategis Sang Jenderal

Se-Indonesia geger kompilasi hasil Quick Count (QC) mulai muncul di TV tanggal 17 April 2019 kemarin. para pendukung Jokowi tenggelam dalam euforia kegembiraan jadi-olah raga sudah selesai, dan pendukung kubu Prabowo ambruk moralnya. saya baru sadar efek moral ini terjadi nasional setelah mendengar cerita dari berbagai pihak. ada yang sampai stress, ada yg nangis-nangis, ada yg kepikiran mau pindah dari indonesia, ada yg jadi loyo …

Bahkan saya sendiri pun menghalami kerusakan moral itu.

Pada saat itu, pola pikir hampir semua orang (dari kubu kedua) langsung terbentuk untuk berpikir bahwa QC PASTI BENAR DAN PASTI AKURAT. 

Padahal, QC hanya sebuah CARA MEMPREDIKSI ATAU MEMPERKIRAKAN hasil akhir penghitungan suara, dengan menngunakan metoda statistik, YANG SANGAT MUDAH DIMANIPULASI UNTUK MENDAPATKAN HASIL YANG DIINGINKAN.

Untuk memanipulasi hasil QC sangat mudah. Anda tinggal melebihkan jumlah sampel dari daerah Anda yang yakini merupakan pendukung fanatik salah seorang capres, maka hasli QC kemudian akan otomatis menunjukkan kemenangan untuk capres ybs. sesederhana itu.

Belum lagi membandingkan stasiun TV nasional, YANG SEJAK AWAL SUDAH SANGAT JELAS MENUNJUKKAN KEBERPIHAKAN KEPADA JOKOWI. ini bukan hanya memulai kampanye pilpres 2019, tapi sudah sejak jokowi berkuasa. hanya seorang dungu atau super-naif yang tidak bisa melihat fenomena ini.

Maka kompilasi kubu Prabowo terhipnotis dengan cara berpikir keliru ini, APALAGI KEMUDIAN DENGAN MENGGALI-GALI TRAUMA 2014 sangat ditakuti dan bisa dipikirkan kembali Prabowo (di) kalah (kan) lagi, maka terbentuklah suatu kebutuhan mental yang lunglai paru-paru, sebaliknya, loyo, malu , sedih, takut, bingung … YANG SEMUANYA BERAKIBAT MEMBUTUHKAN KEPADA PENURUNAN SEMANGAT JUANG DAN SEMANGAT “TEMPUR” KUBU PRABOWO.

Dan memang dianggap yang mereka harapkan …. !!!!!!

Dalam pertandingan yang kompetitif, begitu bersemangat juang Anda ambruk, maka bisa dipastikan Anda tidak akan mau lagi bersusah-payah untuk berjuang terus, maka akan bisa dipatikan pertarungan Anda akan mengendor, dan Anda akan kalah betulan.

Itu “NUBUAT PEMENUHAN DIRI. Ramalan yang terwujud karena ramalan itu sendiri dipercayai.

Apa yang dimulai? ini dia:

1. Relawan Prabowo bisa kehilangan semangat untuk mengawal TPS sampai sepanjang malam (“buat apa lagi ??? kita sudah kalah”)

2. Relawan Prabowo tidak akan lagi mau mengcross-check dan mengcounter serangan dari kubu jokowi (“udah deh … ngapain lagi ribut-ribut”)

3. Dengan demikian maka kecurangan di lapangan akan semakin mudah terjadi tanpa ada yang dibatalkan

4. Kalaupun ada kecurangan yang ketahuan, dengan mudah pelakunya akan diperlihatkan “kami ngga ada motif untuk bebas, kan kami sudah menang … yang senang itu pasti yang kalah” .. dan relawan Prabowo akan makin tertunduk lesu dan malu, mau mukanya. .. Kehilangan itu bisa ditimpakan ke kubu Prabowo sendiri.

Ketika semua itu terjadi, maka kecurangan akan merajalela tanpa tertahan, dan pendukung Prabowo hanya bisa menerimanya sebagai sesuatu yang lumrah sambil berbisik malu: “ini sudah kehendak Allah”, “ini pasti yang terbaik untuk bangsa kita”, “toh lihat presidennya nasib kita ngga akan berubah “…

Loh kok ALLAH SWT yang disalahkan …? 

Lalau maling bisa masuk rumah Anda, jangan salahkan Allah, salahkan pagar dan jendela Anda yang kurang baik keamannya, salahkan Anda sendiri yang kurang berhati-hati menjaga keamanan lingkungan Anda.

Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal?” Nabi bersabda, “Ikatlah mulai bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al Albani di Shohih Jami’ush Shoghir). Dalam pembahasan Imam Al-Qudha’i disampaikan bahwa Amr bin Umayah RadhiyAllahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya,’ Wahai Rosululloh !! Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku berTawakkal kepada Allah, ataukah aku lepaskan begitu aku lalu bertawakkal? ‘, Menjawab,’ Ikatlah untamu lalu bertawakkallah kepada Allah. ”(Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633, 1 / 368)

Ikat dulu untamu, baru bertawakkal. 

Perang belum selesai kok udah mau nyerah.

Apa jadinya nasib kita sekarang jika dulu para pejuang bangsa kita tidak berseru MERDEKA ATAOE MATI, diterima merdeka atau menyerah. Kita tidak jadi budaknya penjajah sekarang ini karena orang-orang tua kita dulu Bukan MAU MENYERAH SAMPAI BERHASIL …

Inilah efek yang dituju dengan QC abal-abal atau diplesetkan TV itu, untuk menghancurkan semangat dan militansi pendukung Prabowo yang sebelumnya sudah jelas jauh mengungguli kubu jokowi.

Ini adalah kondisi yang sangat berbahaya.

Dan disinilah sang jenderal menujukkan kepemimpinannya. dia tahu itu DIA HARUS MENGANGAT MORAL PENDUKUNGNYA DI SELURUH INDONESIA !!

Maka berbekal dengan data real count elektronik dari 320.000 TPS se-Indonesia, sang jenderal maju dan berkata dengan lantang “KITA TIDAK KALAH, KITA MENANG … INI BUKTINYA !!!!!” Seolah-oleh dia rengkuh semua pendukungnya, dia pegang semua tangan pendukungnya, dan dia tarik semuanya untuk maju terus …

Itu adalah strategi militer yang sangat krusial. semua panglima perang tahu harus dia angkat dan moral dan semangat juang pasukannya sampai titik darah terakhir Saat menghadapi perang dunia ke-2 pasukan jepang sangat sulit dikalahkan, sampai2 amerika harus mengeluarkan senjata pamungkasnya, bom atom. kompilasi moral baru dan semangat pemimpin tertingginya runtuh, jepang bisa dikalahkan.

Jadi tindakan Prabowo mendeklarasikan kemenangannya DENGAN DIDUKUNG BUKTI NYATA PERHITUNGAN C1 DARI 320.000 TPS bukan merupakan tindakan serampangan. itu adalah manuver strategis militer yang sangat penting.

Dan hasilnya? kubu Prabowo yang sudah lunglai mulai bengkit lagi dan dikirim pengawalannya ke TPS-TPS se-Indonesia.

Para pendukung jokowi ramai menyinyiri dan membully Prabowo karena manuvernya itu.

Loh, lalu bagaimana? Bukankah mereka itu dari dulu memang selalu begitu, dan hanya bisa jadi? menyinyiri dan membully itu adalah prosedur operasi statndar mereka. ngga ada lagi.

Apapun yang dilakukan Prabowo pasca QC gadiungan itu PASTI AKAN MENGHASILKAN EJEKAN DARI KUBU JOKOWI. 

Kalau Prabowo diam tidak melakukan apa2, mereka akan menarikaki dan mengejek prabowo sudah kalah lagi.

Kalau Prabowo hanya berkata “ya kita tunggu saja menghitung KPU”, mereka akan mengejek Prabowo tdiak paham teknologi QC yang pasti akurat dan benar.

Ketika Prabowo menunjukkan bukti dari hitungannya yang sebenarnya, mereka akan menuduh Prabowo tidak legowo, pecundang bermental, tidak mau mengakui kekalahan …

Jadi, jadi kenapa harus takut dengan bullyan mereka?

Apa sih ruginya dibully cebong? tidak ada! sama sekali tidak ada!

Tapi yang jelas akan sangat merugikan adalah KALAU BERPIKIR BAHWA PRABOWO SUDAH KALAH, PERTANDINGAN SUDAH BERAKHIR, HANYA KARENA QC GADUNGAN ITU. itu yang pasti merugikan!

“Kenapa sih prabowo ngga sabar menunggu pengiumuman resmi KPU aja?” beberapa teman saya mengeluh

Ini bukan cuma soal dengar pengumuman resmi KPU. pada saat itu moral pendukung Prabowo se-Indonesia harus diselamatkan dulu diselamatkannya. SECEPAT MUNGKIN. CITO. WAKTU GANDA. SEGERA.

Keputusan KPU biar saja nanti diterbitkan .. toh QC dan RC sama-sama bukan pernyataan resmi. maka jangan sampai QC abal-abal yang dibiarkan tanpa hambatan, tanpa lawan. RC dari kubu Prabowo harus langsung digunakan sebagai amunisi melawan QC gadungan itu. Tohumpulkan data C1 se-indonesia itu membutuhkan kerja dari sangat banyak orang. Buat apa pun kalau cuma didiamkan sambil menunggu KPU?

Dan manuver itu memang yang dilakukan Prabowo.

Sebagai pemimpin, Prabowo memang mengambil risiko kompilasi mendeklarasikan kemenangannya. dia menjadi bahan ketawaan dan bullyan cebong se-indonesia yang masih minum euforia palsu.

Tapi beresiko pemimpin. tentang risiko panglima.

Lebih baik dia yang menerima badai bullyan daripada pasukannya kalah moral juang.

Inilah kualitas seorang panglima, seorang pemimpin.

Tidak seperti jokowi yang selalu menyalahkan bawahannya dan orang lain jika ada yang tidak beres,

Comprende? 
19 April 2019 (*)

sigabah.com | teropongsenayan.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}