Preloader logo

LAKSANAKAN IBADAH GERHANA SESUAI SIKON

Bandung (sigabah.com). Pada hari ini, Kamis (1/9/2016), terjadi fenomena di antara ketetapan dan kekuasaan Allah yang tidak dapat dirubah oleh makhluknya, berupa Gerhana Matahari Cincin (GMC), meskipun fenomena yang akan disaksikan warga Indonesia berupa Gerhana Matahari Sebagian (GMS).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) lewat keterangan persnya menjelaskan bahwa, bulan memang akan berada di antara bumi dan matahari. Kebetulan, bulan juga sedang berada pada salah satu titik terjauhnya dengan bumi atau apogee.

Konfigurasi tersebut secara teoretis memang akan menghasilkan Gerhana Matahari cincin. Namun, seperti halnya Gerhana Matahari lainnya, wilayah yang berpeluang menyaksikan sangat kecil. Hanya wilayah yang berada di bawah naungan umbra bulan atau garis semu gerhana yang akan menyaksikan Gerhana Matahari cincin.

Wilayah yang berpeluang menyaksikan GMC, Kamis (1/9/2016), hanya Samudra Atlantik, Afrika bagian tengah, Madagaskar, dan Samudra Hindia. Sementara Indonesia tidak akan mengalami GMC, tetapi hanya GMS. Menurut informasi BMKG, GMS itu akan melintasi 124 kota, sebagaimana dapat dilihat pada peta versi BMKG di bawah ini

gambar 1

Kota-kota yang berpeluang menyaksikan GMS hari ini tersebar di 10 provinsi, yaitu Sumatera Barat bagian selatan, Bengkulu, Sumatera Selatan bagian tenggara, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa  Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur bagian barat.

Gerhana Matahari pada hari ini dapat dikategorikan “unik” baik dilihat secara astronomis maupun secara syariat. Secara astronomis, Indonesia sendiri bisa dikatakan berada di wilayah paling luar yang dilintasi gerhana. Jadi, persentase piringan matahari yang tertutup pun sangat kecil. Peneliti astronomi BMKG, Rukman Nugraha, mengatakan, “Paling besar jika diamati di Ujung Genteng, Sukabumi. Pada saat matahari terbenam (pukul 17.53.27 WIB), persentase piringan matahari yang tertutupi bulan adalah 4,428 persen. Selain di Ujung Genteng, persentasenya lebih kecil dari angka tersebut.”

Selain itu, dari aspek waktu kejadian. Gerhana Matahari hari ini akan terjadi pada saat senja. Sejumlah kota di Indonesia sebenarnya tak bisa menyaksikan puncak gerhana. Puncak gerhana terjadi saat matahari telah tenggelam.

Demikian pula durasi waktu gerhana bervariasi sesuai wilayah yang terkena transit bulan, dengan waktu terlama di daerah Kota Manna, Kab. Bengkulu Selatan, selama 34 menit, 30.1 detik (kontak pertama 17:34:36.0). Sementara terpendek  di Caruban, Kab. Kendal Jawa tengah, selama 4 menit 3.4 detik (kontak pertama 17 : 28 : 22.4). Untuk Bandung sendiri, hanya bisa menyaksikan kontak pertama gerhana pada pukul 17.28 WIB, dengan durasi sekitar 20 menit, 47.8 detik. Variasi durasi waktu GMS untuk daerah di Jawa Barat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

gambar 2

Sedangkan untuk durasi waktu GMS seluruh daerah di Indonesia,  dapat dicek di sini

Fenomena durasi waktu demikian “unik” itu, langsung ataupun tidak langsung, berdampak terhadap ketetapan syariat, yaitu apakah tetap diharuskan melaksanakan ibadah gerhana menurut tinjauan Syariat? Jawabnya, fenomena gerhana secara astronomis, baik dari aspek besaran piringan maupun durasi waktu kejadian, tidak menggugurkan pelaksanaan ibadah gerhana sepanjang daerah yang ditempati kaum muslimin dilintasi gerhana. Demikian itu sesuai dengan sabda Nabi saw:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبِّرُوْا وَتَصَدَّقُوْا وَصَلُّوا – رواه البخاري و مسلم و أحمد

“Maka apabila kamu melihat ada gerhana, hendaklah kamu berdoa kepada Allah, bertakbir, bersedekah dan shalat.” HR. Al Bukhari, Muslim, dan Ahmad.

Sabda Nabi di atas menunjukkan bahwa:

  1. pelaksanaan rangkaian ibadah gerhana berhubungan dengan “apabila kamu melihat (idzaa ra’aa)”, bukan berapa lama waktu gerhana berlangsung dan seberapa besar ukuran gerhana dapat dilihat;
  2. pelaksanaan rangkaian ibadah gerhana dikemas dengan bahasa perintah, yang mengindikasikan kewajiban, meski tertib urutan pelaksanaan bentuk-bentuk ibadah itu, selain khutbah setelah shalat, bukanlah kemestian. Sebab hasil penelusuran terhadap hadis-hadis tentang itu menunjukkan urutan bervariasi.[1]
  3. rangkaian ibadah gerhana di atas disyariatkan untuk dilaksanakan secara keseluruhan dalam situasi ideal, selama memungkinkan.

Dalam situasi dan kondisi tidak ideal, seperti terbatasnya durasi waktu untuk pelaksanaan, maka  pelaksanaan seluruh rangkaian ibadah itu dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing selama dimungkinkan. Pertimbangan demikian, merujuk kepada sabda Nabi saw.:

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka apabila saya perintahkan kalian dengan sesuatu, maka laksanakanlah sesuatu itu sesuai dengan kemampuan kalian.” HR. Muslim. [2]

Dalam riwayat Imam Al-Bukhari, dengan redaksi:

وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apabila saya perintahkan kalian dengan suatu perkara, maka laksanakanlah perkara itu sesuai dengan kemampuan kalian.” HR. Al-Bukhari. [3]

Dari hadis di atas lahir beberapa kaidah fiqih, antara lain:

مَالاَيُدْرَكُ كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ كُلُّهُ

“Apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya.”

Kaidah di atas dapat dikatakan jarang dipakai oleh para ulama fikih dan ushul. Kebanyakan ulama fikih dan ushul lebih sering menggunakan kaidah dengan redaksi:

الْمَيْسُوْرُ لاَ يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ

“Perkara yang mudah (bisa dikerjakan), tidak bisa dianggap gugur kewajibannya karena adanya perkara yang sulit (tidak bisa dikerjakan).”

Menurut Imam Tajuddin as-Subki, kaidah di atas di antara kaidah terpopuler yang digali dari sabda Nabi saw. sebagaimana tersebut di atas. [4]

Dilihat dari segi makna, kedua kaidah di atas memiliki persamaan maksud, meski dengan konteks redaksional yang berbeda. Masing–masing menjelaskan hukum melaksanakan kewajiban syariat, bahwa hukum melaksanakan kewajiban adalah wajib, dan kewajiban itu tetap wajib dilaksanakan meski kewajiban itu merupakan perkara yang sukar (ma’sur). Sebab, kesukaran pelaksanaan kewajiban tersebut tidak bisa menggugurkan kewajiban secara keseluruhan, termasuk yang bisa dilaksanakan (maysur). Dari sinilah, konteks kaidah “apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya (ma laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu) memiliki titik singgung yang sama kaidah al–maysur di atas. Artinya, ketidakmungkinan suatu kewajiban untuk dilaksanakan secara keseluruhan tidak berarti semuanya menjadi tidak wajib atau boleh ditinggalkan. Akan tetapi, mana yang mungkin itulah yang harus dilaksanakan.

Sementara konteks maa istatha’tum (sesuai dengan kemampuan kalian), mengindikasikan adanya kemampuan yang paling tinggi (aqsha al-istitha’ah) dan bukan semampunya. Misalnya, jika seseorang mempunyai kemampuan 20, maka tidak dikatakan maa istatha’tum, ketika dia menunaikan perintah tersebut hanya dengan kemampuan 18 atau 19. Namun ketika dia menunaikannya dengan kemampuan 20, baru dapat dikatakan bahwa dia telah menunaikan perintah tersebut sesuai dengan kualifikasi maa istatha’tum.

Dalam konteks pelaksanaan seluruh rangkaian ibadah gerhana, hadis dan kaidah fiqih di atas memberikan pedoman kepada kita, bahwa dalam keterbatasan waktu durasi gerhana, boleh jadi rangkaian ibadah di atas dilaksanakan dengan durasi waktu berbeda antara satu dengan yang lain, misalnya durasi waktu takbiran dan shalat diperpendek. Bahkan, bisa jadi hanya sebagian ibadah yang mungkin dilaksanakan, misalnya shalat gerhana tanpa disertai khutbah atau takbiran saja. Dengan demikian, sependek apapun durasi waktu kejadian gerhana tidak menggugurkan pelaksanaan ibadah gerhana selama sebab syar’inya masih ada. Jadi, mari kita laksanakan syariat ini sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.

By Amin Muchtar, sigabah.com

Baca Panduan Lengkap Ibadah Gerhana di sini

Baca Analisa Takbiran Gerhana di sini

Baca Analisa Posisi Tangan Ketika Shalat Gerhana di sini

Baca Khutbah Nabi saat Gerhana di sini

[1]Misalnya, dalam riwayat al-Bukhari disebutkan dengan urutan sebagai berikut: “Berdoa kepada Allah, bertakbir, salat, dan bersedekah.” (Lihat, Shahih Al-Bukhari, I:354, No. 997) Dalam riwayat Muslim, Ahmad, al-Baihaqi disebutkan dengan urutan sebagai berikut: “Takbir, Berdoa kepada Allah, salat, dan bersedekah.” (Lihat, Shahih Muslim, II:618, No. 901, Musnad Ahmad, VI:164, No. 25.351, As-Sunan al-Kubra, III:340, No. 6157). Sementara dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan dengan urutan sebagai berikut: “Salat, dzikir kepada Allah, berdoa kepada Allah, dan bersedekah.” (Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, II:329, No. 1400)

[2]Lihat, Shahih Muslim, II:975, No. 1137

[3]Lihat, Shahih Al-Bukhari, VI:2658, No. 6858

[4]Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, I:174

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}