Preloader logo

Koordinasi ‘Benang Kusut’ Kabinet Kerja Jokowi

Pemberitaan tentang kebijakan kenaikan harga BBM jenis Pertamax, Pertamax turbo, Premium dan lainnya, kemudian muncul kebijakan baru selang beberapa saat, bahwa premiun tidak ikut naik. Hal ini lahir dari perencanaan dadakan dan koordinasi antara pemangku kepentingan dan pelaksana seperti ‘benang kusut’ kabinet kerja Jokowi.

Kebijakan untuk mengurangi beban kerugian Pertamina senilai Rp. 12 triliun atau setara dengan US$ 957 957 juta . Sebagaimana dilansir oleh  Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru-baru ini menyebutkan bahwa PT Pertamina (Persero) telah menanggung kerugian dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) penugasan satu harga untuk Papua, per 30 Juni 2017. Penyampaian ini dilaksanakan pada 30 Agustus 2017 dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI.

Sedangkan beberapa tahun sebelumnya kebijakan membangun kilang BBM telah bergulir dan terus membangun, untuk mengurangi biaya akibat impor BBM untuk kebutuhan konsumsi dalam negri. Dan hasilnya belum signifikan.

Telah menjadi tabiat bila ada kenaikan BBM memacu inflasi sektor riil. Dimana tingkat biaya operasional pengusaha meningkat dan akan dibebankan pada kenaikan harga barang dan jasa. Efek pasti adalah pengeluaran masyarakat terhadap barang akan naik. Contoh, untuk satu liter pertamax bertambah senilai Rp.700 perak.

Bila dikalikan konsumsi 50 juta kendaraan maka menjadi Rp. 35 Milyar/hari. Bila diambil rata-rata konsumsi 20 liter perbulan, maka uang masyarakat yang masuk ke Pertamina sejumlah Rp. 700 milyar. Baru dari satu jenis pertamax.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah melontarkan kritik soal langkah pemerintah yang tidak tegas terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Setelah sempat disebutkan akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium, namun beberapa saat sebelum diumumkan, pemerintah memutuskan untuk menunda rencana tersebut.

Fahri menilai, pemerintah tak serius dan tidak memiliki kajian yang matang terkait hal itu. Inilah koordinasi ‘benang kusut’ antara legislatif dan eksekutif, terutama Menteri BUMN Rini Sumarno.

Langkah ini barangkali guna menyelematkan Pertamina dari defisit cashflow akibat kebijakan satu harga untuk papua. Disisi lain pembelian minyak mentah atau setengah jadi berdasarkan kontrak pembelian berjangka dengan menggunakan pernjanjian lindung nilai terhadap depresiasi rupiah atas dollar.

Sedangkan pembayaran utang pembelian menggunakan satuan Dollar. Diakhir tahun adalah masa pembayaran utang dan bunga. Keperkasaan Dollar terhadap Rupiah tidak terkendali. 1 Dollar menyentuh harga Rp. 15.200.

Sisi lain, tentang rehabilitasi gempa lombok, tanggab darurat Palu, Sigi dan Donggala membutuhkan uang cash lebih populer fiskal dari APBN. Sedangkan pemerintah mengalami defisit fiskal atau uang cash.

Pernyataan dari beberapa menteri tentang penanggulangan tidak seirama dan menjadi benang kusut selanjutnya. Bercermin dengan pemerintahan sebelumnya era SBY soal penanggulan bencana  ada perhatian penuh dalam kesatuan arahan kebijakan, program yang terkoordinasi lintas kementerian, keterpaduan relawan dibawah koordinasi BNPB.

Kisruh Impor beras antara Menteri Perdagangan Enggar Lukito, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Direktur Bulog Budi Waseso yang telah menghabiskan energi masyarakat, organisasi dan kelembagaan yang focus dalam bidang pangan dan kesejahteraan petani. Kebijakan ini menerbangkan uang ke luar negri atau capital out flow.

Termasuk petani sebagai objek yang terdampak paling akhir. Efek yang signifikan adalah Nilai Tukar Petani (NTP) terhadap barang semakin rendah.  Kisruh ini belum terlihat penyelesaian ‘benang kusut’. Sebab isu ini tenggelam dengan isu lainnya.

Kasus yang tidak menjadi isu nasional adalah demonstasi petani bawang bima yang mengalami jeblok harga bawang di pasar. Dimana pemerintah secara diam-diam mengimpor bawang dari luar negeri. Hal ini bisa dilacak pada pemberitaan media massa di NTB.

Penegakan hukum, kisruh penyidik internal KPK kasus penghilangan alat bukti ‘buku merah’ yang menyeret KPK berhadapan dengan Kapolri Tito Karnavian. Disisi lain 11 Kepala daerah di Jawa Timur menjadi tersangka kasus korupsi. Termasuk 41 anggota dewan kabupaten malang. Dan kasus lainnya butuh kepastian hukum dan penindakan.

Sekali lagi pernyataan Presiden Jokowi selaku pemegang kumparan benang pemerintahan tidak menyelesaikan ‘benang kusut’ pada penegakan supremi hukum, terkhusus korupsi APBD, APBN. Bagaimana janjinya, kita sudah sama maklum.

Kemudian pernyataan Presiden Jokowi tentang delegasi IMF dan Bank Dunia yang menghadiri pertemuan dua tahunan di Bali menggunakan uang sendiri. Pernyataan ini dibantah oleh anggota Dewan lintas parpol.

Bahwa pemerintah telah menganggarkan senilai Rp. 855 milyar dalam rapat antara dewan dengan kementrian terkait. Dan hal ini tidak disebutkan oleh Presiden. Apakah presiden tidak tahu? Atau tidak ada breefing sebelum penyampaian? Bertambah lagi ‘benang kusut’.

Bila kita urai tentang benang kusut pemerintahan sekarang, maka akan banyak ‘benang kusut’ lainnya. Sebab menenun kebijakan demi kebijakan butuh benang yang tidak kusut. Baik dikumparan, maupun diluar kumparan yang akan jalin menjalin menjadi helaian kain.

Kejujuran dalam perkataan, koordinasi yang jelas dan terarah adalah bukti kemampuan menyelesaikan amanah menjadi Presiden Republik Indonesia. Bila tidak, maka jangan tinggalkan ‘benang kusut’ dan tenunan bangsa yang porak poranda bagi kami rakyat Indonesia pemegang kedaulatan bangsa ini.

Terima kasih kabinet kerja Indonesia atas ‘benang kusut’ pemerintahan dibawah dukungan partai PDI Perjuangan dan utusannya sebagai petugas partai memimpin negara Indonesia.

Oleh: Budiman Gunawan

sigabah.com | politiktoday.com

There are 2 comments
  1. Pokonyamah 2019 ganti presiden

    • Sigabah Interaksi

      Terima kasih. Insyaa Allah, semoga bukan hanya ganti orang, tapi ganti sistem menjadi sistem syari’ah.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}