Preloader logo

KANG EMIL DALAM PUSARAN DILAN

Ramainya perbincangan mengenai pembangunan Pojok Dilan (semula direncanakan Taman Dilan) di area Taman GOR Saparua Bandung menimbulkan pro-kontra di kalangan pengamat dan masyarakat. Sebagian tak berkeberatan, sementara tak jarang pula yang menilai pembangunan pojok yang diklaim akan menjadi pojok literasi tersebut minim urgensi. Bahkan, cenderung dianggap memaksakan kehendak, padahal sudah tahu karakter Dilan merusak.

Dalam pandangan saya, kontroversi kebijakan Kang Emil dalam apresiasi Dilan dapat dilihat 3 sudut pandang: (a) Sudut Pandang Ideologis-Moral, (b) Sudut Pandang Politis-Pragmatis, (c) Sudut Pandang Ekonomis-Materialistis.

Sudut pandang politis-pragmatis digunakan merujuk kpd posisi-status Kang Emil sendiri sbg tokoh politik, bahkan beliau digadang2 menjadi salah satu kandidat RI-1 selain Anies Baswedan dan AHY di kontestasi 2024. Dalam konteks ini, apresiasi pd Dilan menjadi kapitalisasi masyarakat milenial tuk masa depan: “Ingat Dilan, ingat Kang Emil” Sebuah “kampanye terselubung” tanpa ongkir. Boleh jadi langkah investasi “murah” dgn hasil melimpah di masa depan ini dianggap absah oleh Kang Emil dan pendukungnya, namun dianggap tdk etis oleh publik, khususnya mrk yg paham akan persoalan perilaku politik para petahana.

Sudut pandang ekonomis-materialistis dipakai merujuk pd harapan Kang Emil sendiri bahwa pojok Dilan diharapkan menjadi magnet baru atau plus di bidang pariwisata yg akan berimbas pada peningkatan income daerah.

Sudut pandang ideologis-Moral digunakan dgn merujuk kpd sosok Dilan yg kontroversial secara moral. Paling tdk secara moral berefek pada simbolisasi budaya pacaran dan vandalisme dgn Dilan sbg model baru. Secara ideologi, Dilan adalah model baru propaganda Syiah untuk menyasar generasi milenial dlm kemasan buku dan film.

Propaganda bisa diartikan sebagai “Upaya sengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi kesadaran, dan sikap untuk mencapai reaksi yang diinginkan oleh penyebarnya.”

Fenomena menarik dalam konteks pemanfaatan buku jenis fiksi dan media film sebagai saluran dakwah Syi’ah—saat ini—bukan melulu terletak pada konten buku atau filmnya, namun penting pula dicermati “sosok produsennya”, salah satu di antaranya penerbit buku dan produser film Mizan.

Buku “berbau Syi’ah” dlm ragam genre dan segmentasi sasaran yang berhasil diterbitkan oleh penganut dan atau pro syia lebih dari 100 judul buku dlm setahun, baik yg berafiliasi dgn ormas IJABI (Ikatan Jamaah Ahlu Bait Indonesia) maupun ABI (Ahlu Bait Indonesia).

Propaganda Syiah secara soft namun sistematis ini dapat terlacak, misalnya pada karya2 Munif Chatib khususnya buku berjudul: “Sekolahnya Manusia” terbitan Mizan grup. Pakar pendidikan Syi’ah yang juga pernah menjadi “staf ahli menteri pendidikan” dan Tim Penyusun kurikulum 2013 Kemendikbud itu, memasukkan unsur-unsur syiah dalam buku-buku bergenre parenting.

Begitu pula Pakar pendidikan Syi’ah, Ibrahim Amini, dalam kitab-nya At-Ta’lim wa at-Tarbiyyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Syi’ah Al-Huda ICC Jakarta dengan judul Asupan ilahi.

Jadi, terdapat benang merah antara buku fiksi dan non fiksi yang ditulis dan atau diterbitkan penganut Syiah atau yang pro Syiah. Di mana para penulis atau penerbitnya hendak menjadikan tokoh fiksi atau real sebagai model agar dicintai, diikuti, dan dijadikan panutan oleh ragam generasi dan segmentasi. Dalam konteks sosok Dilan, generasi milenial yang hendak disasar.

Pada Novel Dilan 1990 [edisi lama hlm. 263, edisi revisi hlm. 275] ditulis bahwa Dilan Kagum sama Khomeini. Bagi dia, Sosok Khomeni katanya Imam Besar Iran yang sangat pemberani dan revolusioner.

Pengetahuan Kang Emil Soal Sosok Dilan Secara Ideologis-Moral

Kang Emil tahu betul karakter negatif pada sosok Dilan secara ideologis-moral, namun Kang Emil tetap mengapresiasi krn punya pertimbangan lain secara politis & ekonomis. Atau boleh jadi Kang Emil tidak mahu tahu/tdk peduli dgn sisi karakter negatif pada sosok Dilan secara ideologis-moral.

Kemungkinan mana pun yg diambil pada dasarnya tdk menjadi masalah bagi publik jika Kang Emil secara pribadi kagum pada sosok Dilan. Apresiasi beliau pd Dilan dlm wujud patungisasi Dilan sekali pun itu adalah hak pribadi yang tak boleh diprotes oleh publik.

Namun ketika sudah masuk di ranah public, dimana sosok Dilan itu diapreasisi oleh Kang Emil sbg pejabat publik, aparat negara dan kepala pemerintahan, apresiasi dlm wujud tamanisasi atau cornerisasi Dilan dgn biaya pembangunan menggunakan uang rakyat, maka menjadi lain ceritanya. Publik punya hak untuk tidak setuju, bahkan sah-sah saja jika orang bilang “Kang Emil terlalu lebay dan alay”, mengangkat Dilan ke ranah publik dijadikan sebagai ikon daerah atau sebuah kota karena melepaskan pandangan etis publik dan kesejarahan untuk menjadikan seseorang sebagai ikon kota.

Disini aja siih masalahnya kang Emil..idenya okay tapi tak cukup ide saja, tetapi akar budaya, ideologis-moralitas dan kesejarahan juga perlu dipertimbangkan termasuk valuenya juga harus sangat diperhatikan.

Kritik Membangun Tanda Rakyat Peduli

Karena pembahasan ini muncul pada saat saya sudah baca hak jawab Kang Emil, maka setiap orang punya perspektif, dan ini adalah kekayaan yang berharga tanda rakyat peduli negara dan umara.

Sikap kritis tak perlu ditakuti, tapi hindari hujatan dan caci-maki. Jika kritik membuat pedas di hati itu tanda Kang Emil masih menyimpan naluri insani, semoga diridhai Ilahi.

By Ustadz Amin Muchtar, sigabah.com

Disampaikan dalam kajian rutin Majelis Sigabah edisi Senin 04 Maret 2019, di Pendopo Ibnu Hajar, dgn tema: Kang Emil dalam pusan Dilan: Ideologis, Politis, Ekonomis

There is 1 comment
  1. 👍👍

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}