Preloader logo

Istana Dalam Puncak Kegalauan

Setelah Prabowo Sandi dalam kampanyenya di berbagai daerah disambut lautan massa, penjaga istana Jakarta mulai khawatir. Mereka takut kalau setelah 17 April 2019 ini harus berkemas meninggalkan tempat yang nyaman itu.

Jakarta–Kekhawatiran itu memuncak setelah beberapa survai menunjukkan elektabilitas Jokowi terus menurun.

Dua mantan jenderal yang sangat berpengaruh di istana berteriak keras ke publik. Dalam pemilu nanti bukan Jokowi vs Prabowo, tapi Pancasila vs Khilafah, kata Hendropriyono. Ada gerakan yang ingin menggantikan Pancasila, kata Luhut Panjaitan.

“Pemilu kali ini yang berhadap-hadapan bukan saja hanya subjeknya. Orang yang berhadapan bukan hanya kubu, kubu dari Pak Jokowi dan kubu dari Pak Prabowo, bukan. Tapi ideologi,” kata Hendropriyono di Gedung Pertemuan Kesatrian Soekarno Hatta, BIN, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (28/3).

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara ini mengatakan, yang bertarung pada Pemilu kali ini adalah ideologi Pancasila berhadapan dengan ideologi khilafah. Oleh sebab itu, dia meminta masyarakat harus mulai menentukan pilihan dan memahami calon pemimpin dipilih pada Pemilu 2019.

“Bahwa yang berhadap-hadapan adalah ideologi Pancasila berhadapan dengan ideologi khilafah. Tinggal pilih yang mana. Rakyat harus jelas mengerti. Bahwa dia harus memilih yang bisa membikin dia selamat,” ujar dia. (lihat https://www.merdeka.com/politik/hendropriyono-pemilu-kali-ini-yang-berhadapan-ideologi-pancasila-dengan-khilafah.html)

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengklaim melihat ada gerakan yang mengarah pada keinginan mengganti ideologi Pancasila. Hal itu disampaikan Luhut via pesan di WhatsApp Group kepada para mantan perwira Akademi Militer yang masuk pada 1967 dan lulus pada 1970.

“Ingatlah yang saya sampaikan hari ini, bahwa saya melihat sudah ada gerakan yang mengarah pada keinginan untuk mengganti ideologi Pancasila. Itu yang saya takut,” ujar Luhut lewat keterangan yang dikirimkan staf khususnya kepada Tempo, Rabu, 27 Maret 2019.

Menurut Luhut pernyataannya tersebut bukan sekedar spekulasi atau hanya ingin menakut-nakuti, melainkan benar-benar nyata. “Saya punya data-data yang cukup akurat terhadap itu yang tidak elok juga untuk kita buka ke publik,” ujar dia.

Atas dasar itu, Luhut mengundang para mantan perwira dan mantan pejabat untuk bertemu menjelang hari-H pencoblosan pemilihan presiden 2019.

“Saya ingin sekali lagi mengundang kapan teman-teman entah mau ber-5 atau 10 orang, saya jamin pasti independen. Anda mau tanya apa saja, mau minta bukti apa saja, saya siap,” ujar Luhut. (lihat https://nasional.tempo.co/read/1189795/luhut-panjaitan-ada-gerakan-ingin-mengganti-ideologi-pancasila)
000

Pernyataan Luhut dan Hendro ini menakut-nakuti rakyat dan mengada-ada. Sebab sampai sekarang tidak ada gerakan, baik bersenjata maupun tidak bersenjata, yang ingin mengganti Pancasila. Memang ada gerakan yang mendukung Khilafah di negeri ini, tapi gerakan itu kecil dan mengharamkan gerakan bersenjata. Bagaimana mereka mau mengubah dasar negara? Lewat jalan mana? Tentu hampir mustahil. Karena TNI, polisi dan juga mayoritas rakyat akan menentangnya. Apalagi pimpinan gerakan khilafah ini mengaku tidak ingin mengganti Pancasila.
Tokoh-tokoh Islam Indonesia sepanjang sejarah faham bahwa Pancasila ini harus dipertahankan. Pancasila adalah rumusan dan hasil perjuangan keras dari tokoh-tokoh Islam Indonesia dan merupakan konsensus tokoh-tokoh pendiri republik ini.

Pancasila yang ada sekarang ini dirumuskan dari Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945) dan hanya sila pertama yang diubah. Dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Empat sila lainnya tetap. Pancasila ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Panitia kecil yang dibentuk menjelang kemerdekaan RI 1945 yang diambil dari anggota-anggota BPUPKI. Anggota Panitia Sembilan ini meliputi wakil kalangan nasionalis sekuler, Kristen dan nasionalis Islam.

Mereka adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, Agus Salim, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin dan Ahmad Soebardjo. Kahar Muzakkir, Abikusno, Agus Salim dan Wahid Hasyim adalah empat tokoh Islam yang berjuang ‘mati-matian’ saat itu sehingga teks Pancasila saat ini penuh dengan nafas Keislaman. Sayangnya pemerintah dan beberapa ahli hukum kemudian membelokkan Pancasila ini menjadi sekuler.

Memang istilah Pancasila mungkin dari Soekarno atau Yamin. Tapi isi dari teks Pancasila itu, empat tokoh Islam itu mempunyai andil besar. Kata adil, beradab, kerakyatan, hikmah, kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan adalah kosa-kosa kata Islam yang hampir mustahil disuarakan oleh tokoh-tokoh sekuler saat itu. Sayangnya hingga kini belum ditemukan (atau jangan-jangan sengaja dihilangkan) pembahasan atau notulen secara rinci perumusan Pancasila itu.

Kalau kita lihat naskah dari Yamin, yang dipidatokan 29 Mei 1945, naskah Pancasilanya adalah 1. Perikebangsaan. 2. Perikemanusiaan. 3. Periketuhanan 4. Perikerakyatan 5. Kesejahteraan rakyat.

Pada 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan 5 rumusan dasar negara, yaitu:

1. Kebangsaan Indonesia.

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan.

3. Mufakat atau demokrasi.

4. Kesejahteraan social

5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Setelah rapat berhari-hari tentang dasar negara itu –Soekarno menyebutnya ‘berkeringat-keringat’—akhirnya pada 22 Juni 1945 Piagam Jakarta disahkan bersama. Dalam persidangan itu –baca buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, terbitan GIP—debat berlangsung sengit. Mulai dari masalah presiden harus orang Islam, dasar Negara harus Islam dan lain-lain. Setelah perdebatan berlangsung lama, maka disetujuilah Piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 45 yang juga mencakup Pancasila. Dimana sila I berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.

Piagam Jakarta (yang didalamnya ada rumusan Pancasila) yang dikawal empat tokoh Islam ini bila kita cermati sangat beda dengan Pancasila rumusan Soekarno dan Yamin. Tapi sayangnya Piagam Jakarta yang telah matang disetujui bersama untuk dibacakan pada proklamasi tanggal17 Agustus dan akan disahkan pada 18 Agustus 1945 itu digagalkan Soekarno dan kawan-kawannya. Pagi-pagi buta jam 4, 17 Agustus 1945, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Naskah dari Panitia Sembilan dimentahkan di rumah perwira Jepang itu dan diganti coret-coretan teks proklamasi yang sangat ringkas.

Dan ujungnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta juga diubah mendasar. Lewat rapat kilat yang berlangsung tidak sampai tiga jam, hal-hal penting yang berkenaan dengan Islam dicoret dari naskah aslinya. Dalam rapat yang mendadak yang diinisiatif oleh Soekarno (dan Hatta) itu, empat wakil umat Islam yang ikut dalam penyusunan Piagam Jakarta tidak hadir. Yang hadir adalah Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Yang lain adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.

Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45 itu diputuskan : Pertama, Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan. Kedua, Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Tapi yang menarik dalam lobinya ke Kasman dan Ki Bagus, Hatta menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, maknanya tauhid. Kasman menulis dalam bukunya: “Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Dan waktu beliau mengusulkan supaya Ketuhanan itu dengan rumus “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijadikan sila pertama (dan bukan seperti maunya Bung Karno sebagai sila kelima dengan rumus “Ketuhanan”), maka Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dengan Nur-Nya itu kepada sila-sila yang empat lainnya dari Pancasila itu.”

Jadi, meski 17-18 Agustus 1945 Piagam Jakarta dimentahkan oleh Soekarno dkk, dan pada Sidang Majelis Konstituante 1956-1959 mengalami deadlock, tetapi pada 5 Juli 1959 Piagam Jakarta dinyatakan Presiden Soekarno secara tegas bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan.
Maka rumusan Pancasila yang sekarang ini adalah sangat sesuai dengan Islam. Maka bila ada gerakan Islam atau gerakan di luar Islam yang ingin mengganti Pancasila, maka mereka tidak faham sejarah.
000

Gerakan mendukung khilafah memang tidak bisa dipungkiri ada di tanah air, tapi jumlahnya kecil dan tidak signifikan diperhitungkan dalam percaturan politik di tanah air.

Bila dicermati sebenarnya masalah khilafah ini, cendekiawan Islam atau ulama Islam terbagi dalam empat pendapat. Pertama, menganggap bahwa khilafah adalah masa lalu dan bagian dari sejarah, sehingga tidak relevan diangkat-angkat kembali. Kedua, menganggap bahwa khilafah adalah janji Rasulullah dan akan kembali terbentuk dalam waktu dekat. Kelompok ini mengait-ngaitkan perang di Timur Tengah sekarang ini adalah tanda besar bagi terwujudnya khilafah. Ketiga, menganggap bahwa khilafah itu ada –sebagaimana sunnatullah sejarah manusia, peradaban manusia berganti-ganti—tapi mungkin terwujud lebih dari 50 tahun atau 100 tahun dari sekarang. Khilafah itu seperti imperium Negara Amerika dengan Persatuan Bangsa-Bangsanya (PBB). Jadi mungkin saja di masa depan nanti negeri-negeri Islam bersatu membentuk PBB tersendiri, menyaingi PBB Amerika. Tapi dalam waktu dekat mustahil, karena negeri-negeri Islam berperang sendiri. Keempat, khilafah itu harus terwujud terus sepanjang sejarah, seperti gerakan kecil Khilafatul Muslimin yang sekarang ada di tanah air.

Dari keempat itu mana yang ditakuti Hendro dan Luhut? Mungkin keduanya takut kepada gerakan khilafah yang kedua. Karena mereka takut tanah air akan rusuh mengikuti Timur Tengah. Atau takut kepada gerakan khilafah yang ketiga, karena ‘idola’ mereka berdua negara Amerika. Wallahu a’lam.
Kedua mantan jenderal itu harusnya lebih banyak belajar sosiologi. Bila dicermati, karakteristik masyarakat Timur Tengah dan Indonesia berbeda. Timur Tengah terdiri dari banyak negara, sehingga antar pemimpin ‘mudah diadu domba’ oleh negara-negara besar. Di samping juga banyak pemimpin Timteng yang zalim terhadap rakyatnya. Selain itu masyarakat di sana, kesukuannnya juga masih cukup kuat, sehingga mudah terjadi konflik.

Sedangkan di Indonesia, rasa kesukuan cukup lemah dan Indonesia negara kesatuan. Karena itu konflik di Indonesia setelah kemerdekaan, ‘mudah ditangani’ dan tidak berkembang menjadi konflik nasional. Masyarakat Indonesia lebih senang menyelesaikan masalah dengan musyawarah daripada dengan perang. Ini mungkin karena dalam sejarahnya Islam masuk Nusantara secara damai. Kecuali ketika Portugis, Belanda dll menjajah Indonesia dan ingin menguras kekayaan tanah air serta melakukan misi ‘gospel’ nya.

Kelompok Islam yang pro khilafah yang ketiga sebenarnya nggak perlu ditakutkan. Karena gerakan ini tidak mengganti Pancasila dan NKRI. Gerakan ini hanya bercita-cita suatu saat dunia akan damai, tenteram dan makmur, dengan bersinarnya nilai-nilai Islam di seluruh dunia. Seperti Islam yang tumbuh semerbak di Eropa yang membawa kesejukan nurani. Hanya orang-orang yang ‘hatinya gelap’ yang menentang pertumbuhan alami Islam di Eropa dan di berbagai negara.
000

Saat ini dimana mayoritas masyarakat di tanah air menanti-nanti pemilu 19 April, tentu tidak elok kedua tokoh itu mengeluarkan pernyataan yang menakut-nakuti. Luhut, kalau memang punya data gerakan yang mengganti Pancasila membahayakan, buka saja datanya. Jangan ditutup-tutupi, sehingga menimbulkan kecurigaan antar sesama. Dengan dibuka datanya akan terjadi dialog dan dicari jalan untuk mengatasi permasalahan bersama.

Siapapun yang menang di 19 April nanti harus dihormati bersama. Asal pemilu berlangsung jujur dan adil.

Entah mengapa umat Islam selalu dicurigai di negeri mayoritas Islam ini. Setelah dulu dicurigai terlibat teroris, sekarang dicurigai terlibat dalam gerakan khilafah yang membahayakan. Padahal dulu BNPT sendiri pernah menyatakan bahwa mereka yang mau terlibat dalam pemilu/parlemen, maka aman (tidak dicurigai lagi). Mengapa kini setelah umat Islam mau melibatkan diri dalam pemilu –sebagian memang beroposisi dengan istana- dicurigai kembali? Ada agenda apa sebenarnya? Kenapa kedua mantan jenderal itu tidak fokus mengurusi Gerakan Separatis Bersenjata Papua Merdeka yang riil membahayakan dan telah menimbulkan korban ratusan orang?
Walhasil, bila kedua tokoh itu cermat, maka mayoritas umat Islam sekarang ini tidak mempermasalahkan Pancasila. Karena Pancasila bisa ditafsirkan ke sekuler atau Islami, tergantung penguasa. Bila umat Islam menginginkan negeri ini Islami, siapapun penguasanya adalah hal yang wajar, karena mereka mayoritas. Maka, tokoh pemersatu NKRI dan mantan Perdana Menteri RI, Mohammad Natsir mewanti-wanti : “Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam al Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.” Wallahu alimun hakim.

Nuim Hidayat

Jurnalis Senior

sigabah.com | wartapilihhttps://www.wartapilihan.com/istana-dalam-puncak-kegalauan/an.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}