Preloader logo

INDONESIA TANPA DUSTA

Tidak diragukan lagi bahwa jujur dan benar adalah modal dasar bagi manusia dalam bermuamalah. Keberhasilan dan kekuatan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam menyampaikan risalah Allah Swt. adalah karena kejujuran dan kebenarannya. Beliau memiliki sifat yang dikenal dengan sifat Nabi yang empat, salah satu di antaranya adalah sifat shiddiq (jujur). Sejarah mencatat bahwa sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, beliau tidak termasuk deretan orang-orang dusta. Bahkan sebaliknya beliau termasuk kategori orang yang jujur di saat kejujuran laksana barang yang amat langka.

Orang Yahudi diancam Allah Swt. dan ditetapkan sebagai orang yang dimurkai (al maghdub ‘alaihim), karena mereka merubah kitab yang ada pada mereka sambil berkata bahwa ini adalah dari sisi Allah, padahal mereka mengetahui bahwa hal itu adalah dosa besar. Hal itu dilakukan karena ingin mendapatkan sesuatu yang selama ini didapat dari harga yang sedikit (murah), sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Quran:

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ

“Maka kecelakaan bagi orang-orang yang menulis kitab dengan tangan-tangan mereka, kemudian mereka berkata, ’Ini dari sisi Allah.’ karena mereka hendak menukarkan dengan harga yang sedikit, maka kecelakaan bagi mereka dari apa yang ditulis tangan-tangan mereka dan kecelakaan bagi mereka dari apa yang mereka usahakan.” (QS. Al Baqarah: 79)

Imam Mustafa Al Maraghi menyatakan bahwa, “Yahudi yang menulis itu melakukan tiga kejahatan: Pertama, merubah sifat Nabi saw. Kedua, mengada-ada atas nama Allah. Dan Ketiga, mengambil suap. Oleh karena itu mereka diancam, bagi setiap kejahatan dengan kecelakaan dan kebinasaan. (Lihat, Tafsir al Maraghi, Juz 1, hal. 152)

Pada ayat di atas tercantum bahwa mereka hendak menukar dengan harga yang murah padahal bisa jadi menurut mereka itu mahal. Demikian itu terindikasi dari sikap mereka yang berani melakukan perubahan terhadap kitabnya itu, mengingat mereka tertarik dengan besarannya dan tingginya yang diperoleh mereka. Namun, setinggi apapun tahta yang diperoleh dan sebesar apapun harta yang didapat, hingga bumi, langit dan seisinya dijadikan alat tukar untuk merubah kitab Allah, tetap saja hal itu termasuk harga yang murah (sedikit). Syekh Al Maraghi mengatakan:

كُلُّ مَا يُبَاعُ بِهِ الْحَقُّ وَيُتْرَكُ لِأَجْلِهِ فَهُوَ قَلِيْلٌ لِأَنَّ الْحَقَّ أَثْمَنُ الأَشْيَاءِ وَأَغْلاَهَا

“Setiap hak (kebenaran) yang dijual dan ditinggalkan karena suatu perkara, maka hal itu adalah sedikit (kecil), karena sesungguhnya hak (kebenaran) itu adalah sesuatu yang paling berharga dan paling mahal.” (Lihat, Tafsir Al Maraghi, Juz 1, hal. 151)

Mereka tidak malu berbuat seperti itu sekali pun mereka tertangkap basah dalam melakukan kebohongan dan kejahatan di hadapan orang banyak, sebagaimana peristiwa yang terjadi di Khaibar bersama Rasulullah saw. sebagai berikut:

عَنْ أَبِيِ هُرَيْرَةَ رَصِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا فُتِحَتْ خَيْبَرُ أُهْدِيَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةٌ فِيْهَا سَمٌّ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِجْمَعُوْا لِي مَنْ كَانَ مِنَ الْيَهُوْدِ هُنَا فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَبُوْكُمْ ؟ قَالُوْا فُلاَنٌ قَالَ كَذَبْتُمْ بَلْ أَبُوْكُمْ فُلاَنٌ فَقَالُوْا صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ ثُمَّ قَالَ لَهُمْ هَلْ أَنْتُمْ صَادِقِيَّ عَنْ شَيْئٍ اِنْ سَأَلْتُكُمْ عَنْهُ قَالُوْا نَعَمْ يَا أَبَا اْلقَاسِمِ وَاِنْ كَذَبْنَاكَ عَرَفْتَ كَذْبَنَا كَمَا عَرَفْتَهُ فِي اَبِيْنَا فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَهْلُ النَّارِ فَقَالُوْا نَكُوْنُ فِيْهَا يَسِيْرًا ثُمَّ تَخَلَّفُوْنَا فِيْهَا فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِخْسَئُوْا وَاللهِ لاَ نُخَلِّفُكُمْ فِيْهَا أَبَدًا ثُمَّ قَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ أَنْتُمْ صَاِدِقيَّ عَنْ شَيْئٍ اِنْ سَأَلْتُكُمْ عَنْهُ قَالُوْا نَعَمْ يَا أَبَا اْلقَاسِمِ قَالَ هَلْ جَعَلْتُمْ فِي هَذِهِ الشَّاةِ سَمًّا ؟ فَقَالُوْا نَعَمْ قَالَ فَمَا حَمَلَكُمْ عَلَى ذَالِكَ ؟فَقَالُوْا أَرَدْنَا اِنْ كُنْتَ كَاذِبًا أَنْ نَسْتَرِيْحَ مِنْكَ وَاِنْ كُنْتَ نَبِيًّا لَمْ يَضُرَّكَ رواه أحمدوالبخاري

Dari Abu Hurairah Ra., ia berkata, ketika Khaibar terkuasai, “Rasulullah saw. diberi hadiah seekor kambing yang ada racunnya, lalu Rasulullah saw. berkata, ‘Kumpullah kalian bersamaku siapa yang termasuk golongan Yahudi disini.’ Lalu beliau bertanya, ‘Siapa ayah kamu?’ Mereka menjawab, ‘Fulan.’ Beliau menjawab, ‘Kalian dusta, bukan itu tetapi ayahmu itu adalah si Polan.’ Lalu mereka menjawab, ‘Engkau benar dan tepat.’ Kemudian beliau bertanya, ‘Apakah kalian bisa jujur jika aku bertanya kepada kalian tentang sesuatu?’ Mereka menjawab, ’Ya wahai Abul Qasim. Dan jika kami berdusta kepadamu, engkau pasti mengetahui kebohongan kami sebagaimana engkau mengetahui tentang ayah kami.’ Lalu Rasulullah saw. bertanya, ’Siapa yang menjadi penghuni neraka?’ Mereka menjawab, ’Kami di sana hanya sebentar, kemudian engkau menggantikan kami.’ Lalu Rasulullah saw. bersabda, ’Jauhlah kalian. Demi Allah kami tidak akan menggantikan kalian selamanya disitu.’ Kemudian Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, ’Apakah kalian bisa jujur kepadaku apabila aku bertanya tentang sesuatu?’ Mereka menjawab, ‘Ya Wahai Abul Qasim.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian meletakkan racun pada daging kambing ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa kalian bawa hal itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami bermaksud jika engkau pembohong maka kamilah yang memberhentikanmu, dan jika engkau benar-benar Nabi, maka racun itu tidak akan membahayakanmu’.” H.R. Ahmad dan Al Bukhari

Kisah di atas menunjukkan dengan jelas bahwa dalam interaksi sosiologis-ideologis ternyata problem utama bukan terletak pada persoalan kesefahaman dan perkembangan pemikiran melainkan kejujuran dan keikhlasan. Bagaimana mungkin kesefahaman dapat terwujud dan persaudaraan dapat dibangun, sementara kejujuran dan keikhlasan sebagai fondasi kesefahamannya tidak didirikan, sehingga persatuan yang hendak dibangun bukanlah persatuan sejati, namun persatuan imitasi, sebab seperti yang telah diingatkan Qur’an: “Engkau mengira bahwa mereka itu bersatu padahal hatinya bercerai berai.”

Dalam konteks ini, kita menyaksikan berbagai upaya mendamaikan konflik Syiah dan Sunni—yang sejatinya sudah berumur panjang—tidak akan pernah menghasilkan solusi yang kongkret. Pasalnya, perbedaan aqidah, manhaj, mazhab dan ideologi politik Syiah tidak saja berbeda prinsip dengan Sunni, melainkan berlawanan dengan prinsip keyakinan mayoritas Muslim di Dunia yang menganut akidah dan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.

Karena itu, memang kedua pihak tak mungkin dapat dipertemukan, tidak ada contohnya antara Sunni dan Syiah ini bisa bersatu. Jika umat Islam internal Ahlussunnah wal Jamaah, berbeda mazhab dan aliran bisa shalat berjama’ah (sebagai simbol persatuan atau ukhuwwah) maupun bersepakat untuk kepentingan bersama, maka dengan Syiah Rafidhah hal itu mustahil bisa terwujud. Niat baik ulama Sunni untuk melakukan taqrib (hidup rukun dengan masing-masing aqidah) selalu gagal karena terhalang tradisi keyakinan imamah Syiah yang berimplikasi penistaan terhadap pemuka sahabat dan isteri Nabi Muhammad saw.

Sehubungan dengan itu, di sini penting disampaikan hasil penelitian prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus, seorang guru besar fikih dan ushul fikih di Fakultas Syariah, Universitas Qatar. Setelah melakukan penelitian terhadap Syiah, beliau menyatakan demikian: “tetapi setelah melakukan penelitian dan kajian, di mana saya membaca secara intensif karya-karya dan buku-buku mereka, saya mendapatkan hal yang amat berbeda dari apa yang diilustrasikan oleh para panganjur dan pendukung upaya pendekatan antar Ahlusunnah dan Syiah. Kepercayaan Syiah terhadap konsep imamah dan semua yang dibangun diatas landasan itu, pada dasarnya menghambat serta menghalangi tercapainya suatu pendekatan. (Baca lebih lanjut dalam prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah Syiah: Studi Perbandingan Akidah dan Tafsir, hlm. xxi ).

Dengan semangat intervensi keyakinan inilah maka semangat dan kebiasaan Syiah Rafidhah untuk mendekonstruksi hadis-hadis Sunni, melecehkan Al-Bukhari-Muslim, menggugat sejarah Ahlussunnah wal Jama’ah, sejak itu membuat cemas para ulama (baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin) dan akhirnya jadi sumber perpecahan umat dan permusuhan abadi yang laten.

Selain problem egoisme keberagamaan Syiah, upaya membangun persatuan sejati juga akan menghadapi kendala utama lainnya karena Syiah kerap menggunakan trik dan intrik berupa pemutar-balikan fakta dan agitasi-agitasi yang menistakan, bahkan pada segmen masyarakat tertentu disertai intimidasi. Dalam event lain, syiah juga menggunakan “senjata pamungkas” berupa ajaran dusta yang mereka namai taqiyyah (menyembunyikan keyakinan sesungguhnya).[1] Bagi Syiah, konsep taqiyyah menjadi semacam ruang ‘ganti baju’ yang memungkinkan mereka untuk bersilat lidah, ‘bersilat’ trik, metode, dalil, dan sebagainya.

Jadi, upaya perdamaian untuk mendekatkan Syiah dan Sunni, baik pada tingkat nasional ataupun internasional, bisa saja menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di atas kertas dan di dalam forum, namun di lapangan, kesepakatan-kesepakatan itu sama sekali tidak dilaksanakan.

Dari situ kita akan faham bahwa ketegangan-ketegangan yang muncul dari dan oleh Syiah hingga kini masih belum reda. Pertentangan itu berimbas juga pada adu fisik yang menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi di berbagai negara seperti: di Saudi Arabia, Iran, Syiria, Irak, Mesir, Pakistan, Afghanistan, Indonesia, dan di berbagai wilayah lainnya.

‘Perang’ pemikiran dalam bingkai ideologi melawan suatu sekte dalam agama, semacam Syiah, sejatinya jauh lebih sulit dan rumit ketimbang membantah argumentasi-argumentasi para penginjil dalam dialog antar-agama, misalnya. Sebab, selain seringkali menggunakan rujukan-rujukan dari kitab-kitab Ahlusunnah—dengan segenap pendistorsiannya—kelompok Syiah juga tak canggung untuk berdialog dari balik dinding taqiyyah. Dengan demikian, bertemu di satu meja sekalipun, kita akan sulit membedakan mana yang Ahlusunnah dan mana yang Syiah, apalagi untuk membedakan argumentasi-argumentasi Syiah dengan Ahlusunnah yang tertuang dalam buku-buku mereka (Syiah).

Di sini, kami tidak bermaksud menyulut api permusuhan, akan tetapi kebenaran—sepahit apapun—memang harus disampaikan apa adanya. Mengutip Dr. Quraish Shihab dalam pengantar bukunya Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, bahwa ‘’amanah ilmiah menuntut agar menyampaikan apa yang diyakini, khawatir jangan sampai sikap diam, dinilai Allah sebagai menyembunyikan kebenaran.” Menjalankan amanat ini adalah penting, sebab ketidak-tegasan sikap akan berdampak fatal pada kebingungan langkah umat, kerusakan akidah dan agama mereka.

Dengan demikian, membincangkan, menelaah, mengkaji dan mengupas Syiah, akan selalu punya makna penting dan urgensitasnya sendiri, sepanjang sekte tersebut masih eksis dan aktif berperan di tengah-tengah masyarakat.

Apa yang tersaji di sini semoga saja dapat mewakili berbagai pihak yang merindukan persatuan hakiki dan kerukunan sejati, bukan persatuan majasi dan kerukunan imitasi. Persatuan dan kerukunan hakiki-sejati itu harus dimulai dari kesefamahan. Namun, tidak akan ada kesefamahan tanpa keterbukaan dan kejujuran.

By Amin Muchtar, sigabah.com

[1]Taqiyyah merupakan salah satu ajaran pokok dalam Syiah. Dalam kitab induk mereka, al-Kafi, antara lain dinyatakan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Taqiyyah adalah bagian dari ajaran agamaku dan agama para pendahuluku, tak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan konsep taqiyyah.” Lihat, al-Kafi, juz 2, hlm. 217.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}