Preloader logo

INDONESIA LAUTAN “AA”

 Jika anda berkunjung ke Bandung dalam masa 1 bulan terakhir ini, anda akan mendapati suasana berbeda, Bandung tampak menjadi cantik dan bersih. Bisa jadi, perhelatan KAA (Konferensi Asia Afrika) ke-60 sebagai pemicunya.

Suasana peringatan puncak KAA ke-60 ini mulai terasa begitu masuk Kota Bandung. Tidak hanya di pintu tol, di daerah perbatasan pun  hingar-bingar KAA sangat terasa. Selain umbul-umbul tiga warna, berjejer pula umbul-umbul bertuliskan logo KAA. Tak ketinggalan dipasang banyak spanduk bergambar Presiden pertama Indonesia, Soekarno dan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang dilengkapi dengan slogan-slogan dan kutipan-kutipan yang menjiwai persatuan dua benua. Dan begitu memasuki jantung kota, tepatnya di sekitaran alun-alun, keramaian menyeruak di mana-mana, khususnya di sepanjang jalan Asia Afrika, kawasan bersejarah yang menyatukan dua benua selatan-selatan.

Semoga saja hingar-bingar perhelatan KAA ini bukan sekadar seremonial formalitas melainkan bagian dari manifestasi masyarakat Sunda, warga Bandung yang menjunjung tata krama religius ikraamudh dhuyuuf (menghormat tamu), someah ka semah (ramah kepada tamu), karena “imahna (rumahnya)” menjadi tempat dilaksanakannya puncak acara Peringatan KAA Ke-60 itu. Sehingga kemacetan Bandung—yang memang sudah biasa macet—yang diperparah oleh penutupan jalan-jalan tertentu demi kelancaran penyelenggaraan KKA ini, begitu pula  berpanas-panasan rianya para pelajar dalam memeriahkan kegiatan para tamu negara yang menapak tilas (historical walk) dari Savoy Homann ke Gedung Merdeka, berbuah manis bagi peningkatan harkat dan martabat warga Bandung khususnya, bangsa Indonesia pada umumnya.

Mau Apa KAA??

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa tujuan utama KAA itu adalah memajukan perdamaian dan kerjasama dunia. Karena itu, dalam peringatan yang ke-60, KAA tetap berkomitmen dengan kedua hal itu. Ini pula membuat tema KAA 2015 yang dipilih kali ini adalah: “Penguatan Kerjasama Selatan-Selatan untuk Mempromosikan Perdamaian Dunia dan Kesejahteraan”. KSS dinilai sebagai proses historis dengan karakteristik unik. Dalam hal ini, sering kali para penyedia bantuan juga merupakan penerima bantuan. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan KSS mencerminkan solidaritas penyesuaian dengan konteks dan kemampuan lokal, serta mempromosikan kerjasama saling menguntungkan dalam kemitraan yang sejajar. Tak ada hierarki dalam KSS karena kemitraan tak bersifat vertikal seperti kerjasama Utara-Selatan (kerjasama negara maju-negara berkembang) yang ada selama ini. Meski begitu, keberadaan KSS bukan untuk menghilangkan kerjasama Utara-Selatan, melainkan menjadi pelengkap kerjasama konvensional tersebut.

Dengan sifat kemitraan yang horisontal, tak akan ada pihak yang dieksploitasi. Karena itu, mekanisme KSS ini diharapkan bisa membantu negara-negara Asia Afrika bangkit dari kemiskinan dan membuat mereka bisa mencicipi kesejahteraan yang berujung pada meningkatnya kualitas hidup mereka. Namun, faktanya saat ini masih banyak negara berkembang kesulitan untuk mengakses kebutuhan dasar seperti pangan dan papan. Banyak warga negara itu masih bergumul dengan perang, penyakit dan kemiskinan. Sebut saja pendapatan kapita terendah dunia berada di kawasan Afrika.

Dapat difahami kalau sejumlah pihak menyebutkan, sejatinya masalah yang dihadapi negara-negara Asia Afrika saat ini dengan 60 tahun lalu tak jauh beda. Dengan perkataan lain, meskipun situasi politik di negara-negara Asia dan Afrika sekarang ini memang sudah berbeda, negara-negara di dua benua tersebut masih menghadapi tantangan yang tak jauh beda seperti dahulu. Masalah krusial yang harus dituntaskan terkait ketidakmandirian ekonomi di sejumlah negara Asia Afrika. Pasalnya, setelah terlaksana KAA 1955 dan terbentuknya kerja sama Selatan-Selatan pada tahun 1978, banyak negara Asia Afrika masih bergantung pada negara Eropa dan AS untuk mendukung mereka dalam pembangunan dan juga kehidupan politik.

Karena itu, momentum peringatan 60 tahun KAA seharusnya dijadikan pijakan untuk memperkuat KSS sebagai bagian dari mementingkan kembali spirit Bandung yang tampaknya telah memudar sejak Perang Dingin berakhir. Ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang terhadap negara-negara donor yang didominasi negara-negara Barat itu mesti bisa dikurangi dengan spirit Bandung.

Meski saat ini sejumlah negara Asia seperti Tiongkok, Singapura, Jepang dan Korea Selatan telah berubah menjadi pemain penting dalam ekonomi dunia, namun secara umum, kondisi negara-negara di Asia Afrika masih terbelenggu, baik itu secara ekonomi maupun politik. Karena itu, spirit Bandung harus tetap dinyalakan sebagai upaya untuk membebaskan mereka dari belenggu tersebut. Kolonialisme dalam bentuk baru, seperti eksploitasi ekonomi oleh kekuatan besar, hasus segera dihentikan. Dalam hal ini KAA seharusnya mengecam sistem pasar bebas—buah dari neoliberalisme—karena hanya menguntungkan para pemilik modal yang jumlahnya hanya segelintir itu.

Salah satu butir Dasasila Bandung menyebutkan pentingnya prinsip memajukan kepentingan bersama dan kerjasama. Ini artinya, neoliberalisme tak selaras dengan Deklarasi Bandung. Sayangnya, banyak negara Asia Afrika justru mengadopsi sistem pasar bebas yang kemudian memicu terjadinya praktik neokolonialisme.

Spirit Bandung tentu saja sangat menentang neokolonialisme, apapun bentuknya. Karena itu, peringatan 60 tahun KAA harus menjadi momentum untuk melawan setiap penjajahan bentuk baru supaya tujuan Dasasila Bandung mewujudkan masyarakat Asia Afrika yang berdikari bisa segera terwujud. Kita semua tentunya ingin melihat semua negara di Asia Afrika maju secara ekonomi.
Karena itu, penguatan KSS yang menjadi salah satu agenda utama KAA ke-60 ini, harus segera diterapkan untuk membebaskan negara-negara Asia Afrika dari beragam krisis multidimensional yang sedang dihadapi saat ini, agar mereka dapat menjadi “tuan rumah” di negaranya sendiri.

By Amin Muchtar, sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}