Preloader logo

HARTA KITA BUKAN MILIK KITA (Bagian Ke-9)

 

Konsep Kepemilikan

H. Nasionalisasi Aset

Dalam perekonomian kontemporer, nasionalisasi diartikan sebagai proses pencabutan kepemilikan individu atas aset-aset tertentu untuk dimiliki publik. Aset tersebut difokuskan untuk mewujudkan kemaslahatan publik, sehingga kekayaan itu masuk dalam kategori kepemilikan umum. Untuk itu aset-aset ini tidak boleh dimiliki secara pribadi, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kemadharatan bagi masyarakat hanya karena “permainan” seseorang.

Berbicara masalah nasionalisasi, tentunya kita akan kembali melirik konsep kemaslahatan bagi komunitas muslim (moslem community), di mana masyarakat itu terbentuk berlandaskan atas nilai-nilai kasih sayang, persaudaraan, saling cinta kasih, dan berusaha untuk menghilangkan adanya primordialisme dan starta sosial. Selain itu, kita juga harus memahami konsep distribusi kekayaan dalam masyarakat, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam mempersaudarakan (muaakhat) para sahabat dari kaum Muhajirin yang kaya skill namun dimiskinkan oleh situasi dan kondisi politik Jahiliyyah dengan para sahabat dari kaum Anshar yang kaya aset dengan situasi politik yang relatif telah stabil di Madinah ketika itu.

Hak kepemilikan atas harta kekayaan bagi seorang muslim dapat berubah-ubah sesuai  dengan kondisi yang ada. Terkadang mereka bisa memiliki harta itu secara penuh, namun di sisi lain mungkin mereka dituntut untuk melepaskan atau mengurangi porsi kepemilikannya, khususnya ketika dalam perjalanan ataupun masa paceklik, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis Abu Said dan kebijakan Umar, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Berdasarkan fenomena tersebut, Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla menetapkan sebuah konsep kepedulian sosial, solidaritas sosial, atau public security dalam kehidupan masyarakat muslim. Beliau menyatakan: “Diwajibkan atas golongan orang kaya untuk menanggung kebutuhan orang fakir dan miskin. negara   mempunyai hak untuk memaksa mereka melakukan tanggung jawab tersebut jika mereka menolak untuk membayar zakat atau harta fai’. Mereka diwajibkan untuk memberikan makanan seperti yang mereka makan, memberikan pakaian seperti yang mereka kenakan dalam musim panas dan hujan, menyediakan tempat tinggal yang dijadikan tempat berlindung dari panas dan hujan serta banjir, dan tidak dihalalkan bagi seorang muslim yang sedang dalam keadaan darurat untuk memakan bangkai atau daging babi, jika masih didapatkan kelebihan bahan makanan yang dimiliki oleh sesama muslim atau kafir zhimmi.”

Dalam hal ini, Ibnu Hazm tidak membedakan antara muslim dan non muslim, selama mereka tinggal dalam naungan daulah Islamiyyah, mereka mempunyai hak hidup yang sama, dan ini merupakan refleksi nilai-nilai kemanusiaan yang ingin diperkenalkan oleh Islam, sebuah nilai yang jauh dari perpecahan dan primordialisme serta merupakan kewajiban bagi orang yang mempunyai kelebihan bahan makanan untuk memberikannya kepada orang yang sedang menderita kelaparan.

Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya menuliskan, “ Sesungguhnya syariat Allah diturunkan dalam kehidupan berfungsi untuk menciptakan kemaslahatan bagi hamba-Nya. Setiap hak yang dimiliki oleh individu dibatasi dengan tidak adanya dharar di dalamnya. Segala aturan yang terdapat dalam syariat Allah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan hamba-hamba-Nya dan menghilangkan segala bentuk kemadharatan. Dalam hal ini, ‘Izzuddin bin Abdus Salam berkata, ‘Mengutamakan kemaslahatan yang ada dalam masyarakat lebih baik daripada menghilangkan kemafsadatan (kerusakan). Begitu juga bagi para hakim harus senantiasa mendahulukan kemaslahatan. Para dokter harus mengutamakan alternatif pengobatan yang lebih maslahat meski terdapat dharar di dalamnya dengan memilih dharar yang paling kecil. Syariat merupakan obat yang dapat digunakan untuk mendatangkan kemaslahatan, keselamatan, dan menghilangkan segala bentuk kerusakan yang dapat mendatangkan penyakit, jika antara maslahat dan mafsadat berimbang, maka dipilih salah satunya yang terbaik.”

Sehubungan dengan itu, dalam Islam, hak kepemilikan yang dimiliki oleh individu harus tetap bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan yang sebesar mungkin dan dibatasi dengan tidak menimbulkan dharar bagi orang lain. Timbulnya kemadharatan dalam kehidupan menunjukan adanya pelanggaran atas batasan yang telah ditentukan dalam syariat, dan hal itu jelas dilarang dalam nash Alquran.

Dengan konsep ini, maka kepemilikan yang dikuasi individu akan dibenarkan jika dapat mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat, dan jika kepemilikan itu dapat juga menciptakan kemadharatan bagi diri dan masyarakat, maka kepemilikan ini harus ditakar ulang. Pemilik harus menimbang nilai maslahat yang diterima olehnya dengan nilai mafsadat yang mungkin akan dirasakan oleh masyarakat atau dirinya pribadi. Secara simpel dapat dikatakan, kepemilikan yang ada harus mempertimbangkan nilai maslahat dan mafsadat yang akan diterima oleh pemiliknya dan masyarakat sekitar. Jika kita memberatkan nilai manfaat atas pemiliknya, maka hal itu dibatasi dengan tidak adanya dharar atas kepemilikan itu bagi masyarakat.

Berdasarkan atas keterangan di atas, dapat ditetapkan bahwa penguasa mempunyai hak untuk mencabut kepemilikan atas tanah yang dimiliki oleh warganya jika ia melihat kemadharatan atau kemaslahatan yang lebih besar. Diriwayatkan, Nabi pernah menyita sebidang tanah di kota Madinah “Tanah an-Naqi” yang diperuntukkan bagi kaum  muslimin guna menggembalakan kuda-kuda mereka. Artinya, tanah tersebut dijadikan sebagai milik publik dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.

Prinsip tersebut juga dilestarikan oleh Khalifah Umar Ra. yang berusaha menyita atau menjaga aset selama dapat mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat. Umar pernah menyita tanah “ar-Rabdzah” dan diperuntukan bagi tempat penggembalaan kaum muslimin. Namun, kemudian datanglah pemilik tanah itu mengadu kepada Umar Ra. seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, itu adalah tanah kami, dan kami butuh perjuangan untuk mendapatkannya pada masa jahiliyyah, dan kami sekarang telah masuk Islam, atas dasar apa Anda menyita tanah kami?” Kemudian Umar Ra., sebagai seorang pemimpin yang adil menjawab, “Seluruh kekayaan kita adalah kekayaan Allah, dan kita semua adalah hamba Allah. Demi Allah, jika saya tidak mengemban amanat Allah dan berjuang di jalan-Nya, maka tidak akan aku sita tanah ini walaupun hanya sejengkal.“ Kemudian Umar Ra. menjadikan tanah tersebut sebagai tempat penggembalaan bagi orang-orang kafir yang ingin mengembalakan hewan ternak mereka, dan tanah itu tidak diperuntukan bagi orang-orang yang telah kaya. Selanjutnya Umar Ra. berkata kepada orang yang disuruh untuk menjalankan amanah itu: “Belas-kasihinilah pada sesama manusia, takutlah kepada doa orang yang terzalimi, karena doanya akan dikabulkan. Perintahkanlah orang-orang miskin yang mempunyai unta dan kambing yang sedikit untuk menggembalakannya di tanah itu, dan cegahlah orang-orang kaya, dengan alasan, jika hewan ternak yang mereka miliki telah habis, mereka masih mempunyai pohon kurma dan lahan untuk bertanam. Akan tetapi jika hewan ternak yang punah itu milik orang miskin, mereka akan datang kepadaku dan berteriak: “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda meninggalkan kami seperti ini, tidak mempunyai tempat untuk menyambung hidup. Padang tersebut lebih berharga bagi kami daripada emas dan perak.“ Selanjutnya Umar Ra. berkata kepada mereka: “ Tanah tersebut merupakan ajang perbuatan pada masa jahiliyyah. Setelah dikuasai oleh Islam, maka saya melihat banyak maslahat bagi kaum muslimin, karena itu saya sita untuk kepentingan publik.”

Dalam kasus di atas kita bisa melihat bahwa Umar ra. tetap bersikukuh untuk  mencegah hewan ternak orang kaya untuk digembalakan di dalam tanah tersebut. Pendapat itu diambil dengan alasan, proses penyitaan itu dimaksudkan untuk membantu kaum muslimin yang lemah miskin. Maka dari itu, Umar tidak memperbolehkan bagi orang kaya. Dan perlu dicatat bahwa hewan ternak yang digembalakan di dalamnya dipersiapkan untuk kebutuhan jihad dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin.

Berbagai contoh kasus yang dipaparkan di atas, dapat dijadikan landasan hukum atas keabsahan melakukan nasionalisasi asset pada umumnya, tanah pada khususnya, demi kepentingan negara dan masyarakat yang bersifat dharuri dan mendesak. Dari cerita yang dipaparkan juga dapat dipahami bahwa yang lebih berhak untuk menikmati tanah yang diperuntukkan untuk publik adalah mereka yang memiliki aset yang relatif sedikit, karena dikhawatirkan akan terjadi kerusakan atas aset yang mereka miliki dan pada akhirnya negaralah yang harus menanggung segala beban hidup  mereka. Bila dihitung-hitung, biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menyediakan fasilitas publik tersebut relatif lebih murah bila dibandingkan negara harus menanggung biaya kehidupan mereka dan keluarganya. Hal ini dimungkinkan sesuai dengan kaidah hukum yang berbunyi: “lebih baik menanggung dharar yang lebih kecil untuk menghilangkan dharar yang lebih besar”.

Dr. Muhammad Abdullah al Arabi, pada kitabnya Muhadharat fi an-Nuzhum al-Islamiyyah,  dalam bab “kebebasan pemilik harta dalam penggunannya”, dengan berlandaskan atas kaidah:

تغير الأحكام بتغير الأزمنة

 “Hukum bisa berubah karena adanya perubahan zaman”

menyatakan: “Dewasa ini kita banyak menyaksikan fenomena yang cukup menyedihkan terjadi di negara-negara Islam. Banyak terdapat ketimpangan ekonomi yang diakbatkan adanya kepemilikan individu. Khususnya, terjadi kesenjangan dalam distribusi kekayaan, di mana aset-aset hanya berputar pada segelintir orang saja. Harta kekayaan hanya dimiliki oleh kaum pemodal. Dalam perjalanannya, realita ini menimbulkan dampak yang cukup berarti bagi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik. Fenomena itu muncul, mungkin dikarenakan adanya realita kehidupan yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis yang menyuguhkan perputaran harta kekayaan hanya pada segelintir orang-orang kaya, yang tentunya bertentangan dengan ajaran Al-Quran yang menekankan adanya perputaran dan distribusi kekayaan yang merata bagi masyarakat. Secara tidak langsung, hal ini juga menjalar dalam kehidupan ekonomi negara-negara Islam. Untuk itu, sudah saatnya bagi para pemimpin negara Islam untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berusaha untuk mengeliminasi terjadinya elitisme dalam akses harta kekayaan, menciptakan sistem distribusi yang adil dan merata dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat publik. Menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif, kehidupan sosial politik yang integratif dan berusaha untuk mewujudkan solidaritas sosial yang cukup dinamis.”

Dalam sebuah artikel yang bertajuk al-Milkiyyah al-Fardiyyah wa Tahdiduhaa fii al-Islaam, Syaikh Ali al-Khafif menuliskan: “Diriwayatkan dari Sha’b bin Justamah, sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Tidak ada penyitaan kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.” Makna yang terkandung dalam kata al-hima (penyitaan) adalah penyitaan tersebut dimaksudkan demi kepentingan publik, bukan dikhususkan untuk kepentingan seseorang, karena harta Allah pada hakikatnya adalah harta bagi kaum muslimin. Kata al-hima dinisbatkan kepada Allah, Allah-lah memerintahkannya dan yang akan memberikan balasan. Berdasarkan atas ta’wil ini, Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal menetapkan tentang adanya kepemilikan publik dalam Islam.

Selain itu, kita juga tidak bisa mendikotomikan antara kepentingan publik dengan kepentingan pribadi. Untuk itu, seorang individu tidak bisa memiliki secara pribadi aset-aset publik yang diperuntukan demi kemanfaatan masyarakat, kecuali masyarakat sudah tidak membutuhkan aset itu lagi. Pada posisi tersebut, individu boleh memilikinya dengan memberikan ganti rugi dan berdasarkan persetujuan dari pemimpin dengan catatan, tidak boleh adanya penipuan ataupun penyuapan. Begitu juga sebaliknya, penguasa tidak boleh sembarangan secara paksa mengambil kepemilikan individu untuk ditetapkan sebagai aset publik dan menjadi milik kaum muslimin. Hal itu baru boleh dilakukan, ketika memang kemaslahatan masyarakat membutuhkan aset tersebut, namun tetap harus meminta persetujuan dari pemiliknya dan diberikan kompensasi yang memadai dan tanpa adanya penipuan. Bagaimanapun juga kemaslahatan publik tetap harus didahulukan dari pada kemaslahatan pribadi.

Tentang mendahulukan kemaslahatan publik, pernah dicontohkan oleh Umar Ra. pada masa ke khalifahannya, seiring dengan pertambahan kaum muslimin Masjidil Haram sudah terlalu sempit untuk menampung jumlah jamaah. Kemudian Umar Ra. berkeinginan untuk memperluas masjid, namun sekeliling masjid dipenuhi dengan rumah-rumah penduduk, dan hanya ada beberapa lorong yang dapat digunakan sebagai pintu masuk masjid. Selanjutnya Umar Ra. membeli rumah-rumah tersebut untuk digunakan sebagai tempat perluasan masjid, namun sebagian penduduk menolaknya. Kemudian Umar Ra. membeli paksa rumah-rumah itu, dan uang pembeliannya diletakan di dalam lemari Ka’bah dengan harapan nantinya diambil oleh pemiliknya. Selanjutnya, rumah-rumah itu dimasukan dalam wilayah masjid. Fenomena ini juga terulang pada masa ke khalifahan Utsman bin Affan, jumlah jamaah kaum muslimin semakin bertambah, Utsman berniat untuk memperluas masjid. Kemudian ia membeli rumah-rumah penduduk, bagi sebagian penduduk yang menolak, tetap saja dibeli dengan cara paksa. Dalam hal ini, pemilik tidak mempunyai hak untuk menolaknya, karena ada kemaslahatan publik yang harus diwujudkan, jika ia tetap menolak, maka akan menimbulkan kezaliman bagi yang lain.

Di sisi lain, ada hal yang perlu diperhatikan, walaupun kita diperbolehkan untuk nasionalisasi aset pribadi menjadi aset publik, tetap kita diwajibkan untuk mengganti atau memberikan kompensasi yang memadai dan diambilkan dari baitul maal. Jika baitul maal tidak mempunyai dana, maka pemimpin mempunyai kewajiban untuk mewajibkan kepada orang-orang yang mampu untuk mendermakan sebagian hartanya. Biaya yang dibutuhkan untuk meng-cover pembelian aset publik itu, harus dibagi rata kepada semua orang yang berkecukupan sesuai dengan kemampuan mereka.

Diriwayatkan, sesungguhnya Nabi pernah bersabda, yang artinya, “Barangsiapa memiliki tanah pertanian, maka harus diberdayakan atau memberkannya kepada saudaranya, dan jika ia menolak, maka pegang teguhlah tanah itu.“ Hadis ini menunjukan bahwa ketika Nabi telah sampai di Madinah, bercocok tanam merupakan sumber kekayaan yang banyak diberdayakan oleh penduduk. Dalam perjalanannya, kaum Anshar juga ikut andil untuk memberdayan tanah-tanah pertanian yang ada. Sebagian dari mereka, mempunyai kelebihan tanah dari kebutuhan yang ada, dan tidak sanggup untuk menggarapnya, kemudian tanah itu disewakan kepada orang lain. Kemudian Nabi melihat bahwa yang lebih maslahat adalah adanya pelarangan bagi orang yang kelebihan tanah itu harus diberikan kepada saudaranya sesama muslim yang membutuhkan tanpa adanya kompensasi. Dengan demikian akan tercipta sebuah solidaritas sosial dari kaum Anshar kepada kaum Muhajirin yang akhirnya akan bisa menopang kehidupan mereka dengan memberdayakan tanah-tanah tersebut. Praktek ini merupakan salah satu bentuk upaya untuk mendistribusikan kekayaan pada orang-orang yang lebih membutuhkan. Setelah kefakiran telah lenyap dari kehidupan kaum Muhajirin, pemilik tanah-tanah itu kembali diperbolehkan untuk menyewakan tanah mereka kepada orang lain.

Jika kepemilikan pribadi dapat menyebabkan berputarnya harta kekayaan hanya pada golongan tertentu, dan masyarakat umum tidak dapat mengakses kekayaan tersebut dan menemukan kemadharatan di atasnya, maka negara mempunyai wewenang untuk membatasi kepemilikan ini, dengan tujuan demi kemaslahatan publik.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa sistem Islam yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia yang ada dalam kehidupan manusia, merupakan aturan yang akan sesuai dengan fitrah manusi. Maka selanjutnya Islam mengakui adanya kepemilikan individu dan memuliakannya dengan syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Adanya pembatasan kebebasan pemilik harta, dan diwajibkan untuk memberdayakan atau melakukan investasi agar tidak menghalangi pertumbuhan atau perputaran harta.
  2. Mewajibkan kepada pemilik harta untuk menunaikan zakat, jika telah mencapai nisbahnya.
  3. Mewajibkan untuk berinfaq di jalan Allah, dan menggunakannya untuk menopang solidaritas sosial bagi kehidupan masyarakat atas kebutuhan pokok mereka.
  4. Menghindarkan penggunaan harta untuk kepentingan yang dapat menimbulkan madharat bagi orang lain dan masyarakat pada umumnya.
  5. Menjauhkan diri dari pekerjaan yang haram dalam mendapatkan harta, seperti riba, penipuan, ataupun ikhtikar (penimbunan komoditas yang dibutuhkan public).
  6. Kepemilikan harta tidak bisa digunakan untuk hidup bermewah-mewahan atau tindakan konsumtif lainnya yang dapat mendatangkan madharat bagi pemilik dan masyarakat.
  7. Harta tidak bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan atau kepentingan politik lainnya (money politic), atau mempermainkan hukum.
  8. Pemilik harta tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan dalam warisan dan wasiat, yang pada intinya mencegah terjadinya perputaran harta hanya pada golongan tertentu.

Di sisi yang lain, Islam tetap mengakui adanya kepemilikan publik terhadap aset-aset yang di anggap sebagai kebutuhan pokok masyarakat, seperti air, api, atau padang sahara. Kepemilikan ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi tiap individu masyarakat, sebagaimana setiap individu merupakan wakil Allah untuk mengelola harta kekayaan itu sebagai tanggung jawab sosial dan demi memberikan pelayanan bagi masyarakat.

Kepemilikan individu itu akan hilang, jika negara atau masyarakat membutuhkannya. Kepemilikan itu diprioritaskan untuk menanggung kebutuhan kaum muslim pada umumnya. Dalam masalah nasionalisasi, Rasululllah mempunyai konsep yang adil, yaitu tidak ada harta yang disita kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya, artinya kepemilikan aset-aset itu digunakan untuk kemaslahatan publik, yaitu mendatangkan manfaat bagi kehidupan kaum muslimin.

 

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}