Preloader logo

HARTA KITA BUKAN MILIK KITA (Bagian Ke-8)

Konsep Kepemilikan

F. Intervensi Negara

Konsep harta, yang dinamakan dengan harta umat, mempunyai keutamaan sebagai berikut:

Pertama, dapat mencegah para pegawai pemerintahan untuk menggunakan harta tersebut demi kepentingan pribadi. Label “harta Allah” dapat membuka peluang bagi mereka untuk menggunakannya demi sebuah kepentingan tertentu dengan dalih di jalan Allah. Karena tidak ada seorangpun yang melakukan auditing atas penggunaan harta tersebut walaupun demi kepentingan diri pribadi atau keluarganya. Lain halnya, jika pembelanjaan dan penggunaan harta itu atas nama rakyat, maka rakyat akan dengan mudah melakukan koreksi ataupun pemeriksaan atas penggunaan aset-aset tersebut, sehingga kecil kemungkinan terjadi penyelewengan. Jika anggota masyarakat tidak bisa ikut menikmati manfaat harta tersebut, maka mereka dapat mempertanyakannya kepada pemerintah, karena pada hakikatnya merekalah yang berhak penuh atas manfaat aset-aset yang ada. Umar Ra. berkata: “Barangsiapa ingin bertanya tentang harta masyarakat, maka datanglah padaku, sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai orang yang menyimpan dan membagi harta-harta tersebut.”

Dalam hal ini, Umar Ra. merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas hak-hak anggota masyarakat untuk menikmati kemanfaatan harta mereka.

 Kedua, Islam tetap mengakui eksistensi kepemilikan individu atas harta kekayaan, tidak seperti halnya konsep kepemilikan yang ada dalam sistem ekonomi sosialis yang memberangus dan berusaha menghilangkan peran dan otoritas mereka atas harta benda, di mana semua harta kekayaan dianggap sebagai milik bersama dan untuk kesejahteraan bersama, sehingga tidak ada seorang individu-pun yang boleh memiliki kekayaan.

Ketiga, syari’ah membenarkan bagi seorang muslim untuk memiliki otoritas dan hak atas harta kekayaan. Selain itu mereka juga diwajibkan untuk mengelola dan menjaganya dari segala bentuk eksploitasi yang bersifat destruktif. Dengan harta tersebut, kaum muslim dituntut untuk bisa mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupan dengan cara mengikuti perintah-perintah Allah yang telah diturunkan berkaitan dengan pengelolaan harta kekayaan. Seorang muslim tidak dibenarkan menggunakan harta sebagai alat tunggangan untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan perkataan lain, anugerah harta yang dimiliki dijadikannya sebagai alat justifikasi untuk menguasai atau mengeksploitasi orang lain yang tidak mempunyai harta.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan publik akan fasilitas kehidupan, Islam mempunyai konsep yang sangat unik. Dalam konsep ini dikatakan, setiap harta kekayaan yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, maka komoditas tersebut merupakan milik publik, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah dalam hadis terdahulu: “Kaum muslim bersukutu dalam tiga hal: air, padang sahara, dan api.”

Hadis ini bukanlah sebuah nash yang bersifat kaku, dalam arti komoditas sebagai milik bersama kaum muslim tidak hanya terdiri atas ketiga komoditas tersebut. Dalam kaidah syariah dikatakan, penyebutan Nabi atas ketiga komoditas tersebut adalah ’alaa sabiili mitsaal, yaitu penyebutan yang bertujuan untuk memberikan contoh atas kebutuhan yang bersifat dharuri bagi kehidupan muslim, bukan ‘alaa sabiili hashr, yaitu penyebutan yang bersifat membatasi atas suatu komoditas tertentu. Implikasinya, hadis tersebut harus kita pahami bahwa penyebutan Nabi atas ketiga komoditas tersebut hanyalah sebagai contoh macam komoditas yang merupakan kebutuhan pokok bagi kaum muslim saat itu, sehingga kita harus mampu untuk menganalogikan komoditas lainnya yang menjadi kebutuhan dharuri dalam kehidupan kaum muslim. Segala komoditas yang secara substansial merupakan kebutuhan dharuri bagi kehidupan kaum muslim, maka harta kekayaan tersebut merupakan milik publik. Dalam arti, komoditas tersebut tidak boleh dimiliki atau dimonopoli oleh individu. Jika kekayaan itu hanya dimiliki oleh individu, dikhawatirkan akan ditimbun dan dimonopoli, supply yang dilakukan disesuaikan dengan harga yang ia inginkan, sehingga kaum muslim akan merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka atas komoditas tersebut. Dalam perekonomian modern dewasa ini, ketiga komoditas tersebut dimanisfestasikan dengan listrik, air, telepon, pertambangan, dan lainnya. Komoditas ini tidak boleh dimiliki oleh individu,

Air merupakan salah satu komoditas kehidupan yang bersifat dharuri bagi manusia, konsep inilah yang dipahami oleh para sahabat, tabiin, dan para imam kaum muslimin. Diriwayatkan dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf, sesungguhnya terdapat seorang hamba menuliskan surat kepada Abdullah bin Umar, “Amma ba’du, setelah saya menggunakan air yang saya miliki untuk menyirami tanamanku, kurmaku dan tanahku, terdapat kelebihan air senilai 30 ribu dirham dan saya berikan kepada orang lain. Jika anda menginginkan, saya akan belikan seorang hamba dari kelebihan air tersebut untuk membantu anda dalam menyelesaikan pekerjaan.“ kemudian Abdullah bin Umar membalaa surat tersebut: “Telah datang suratmu kepadaku dan saya paham atas apa yang kamu tuliskan, saya teringat atas apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah: ‘Barangsiapa menghalangi seseorang untuk menikmati kelebihan air dalam padang sahara, maka akan Allah akan menghalangi mereka untuk menerima anugerah Allah di hari kiamat.’ Jika surat balasanku ini telah sampai kepadamu, maka siramlah kurmamu, tanamanmu, dan tanahmu. Jika terdapat kelebihan maka berikan kepada tetanggamu yang paling dekat, dan tetangga lainnya yang membutuhkan, wassalaam.”

Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf menulis, diriwayatkan dari Jarir bin Usman al-Himshi, dari Zaid bin Hibban al-Syar’I, ia berkata, “Ada seseorang yang tinggal di tenda di Romawi, kemudian terdapat sekelompok kaum yang ingin bertanam di sekitar tenda orang tersebut, namun ia menolak keinginan mereka. Kemudian seorang Muhajirin mencegah orang tersebut untuk menolak mereka, namun ia tetap tidak mau. Kemudian orang Muhajirin tersebut berkata, “Sesungguhnya saya telah ikut perang tiga kali, saya mendengar, di tengah-tengah perang tersebut, Nabi bersabda, ‘Kaum muslimin bersekutu dalam tiga hal: air, padang sahara, api.’ Setelah mendengar  peringatan Nabi tersebut, laki-laki itu langsung merangkul orang Muhajirin dan meminta maaf kepadanya.”

Begitu juga dengan hasil tambang sebagai komoditas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, seperti minyak, panas bumi, batu bara, dan lainnya. Untuk itu, komoditas tersebut harus dimiliki oleh publik dan didayagunakan demi kemaslahatan kehidupan masyarakat. Walaupun tambang tersebut terdapat dalam tanah yang dimiliki oleh seseorang ataupun tidak diketahui pemiliknya, barang tambang itu tetap harus dijadikan sebagai milik publik dan tidak bisa dimiliki oleh individu.

Kepemilikan tersebut dengan alasan “kepemilikian seseorang atas tanah” dimaksudkan untuk ditanami atau membangun sesuatu di atasnya. Adapun kandungan yang tersimpan dalam perut bumi seperti barang tambang, tidaklah semua diketahui oleh pemilik tanah, pemilik itu tidak pernah tahu dan tidak bermaksud untuk memiliki barang tambang ini ketika melakukan akad jual beli. Sehingga, barang tambang tersebut merupakan milik publik, milik kaum muslimin, dan tidak dibenarkan bagi individu untuk memilikinya, walaupun barang tambang tersebut terdapat dalam tanah yang dimilikinya. Karena itu, pemimpin berkewajiban untuk mengelola dan memberdayakannya demi kemaslahatan kehidupan kaum muslim melalui berbagai daya upaya, tanpa bermaksud menguasainya secara pribadi karena barang tersebut milik negara yang berfungsi untuk mewujudkan kemaslahatan.

Imam al-Kasani, dalam kitabnya Badai’ al-Shanai’  (referensi penting madzhab  Hanafiyah) berkata, “Tambak garam, ladang minyak dan sejenisnya merupakan kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslim, maka tidak boleh bagi seorang pemimpin untuk memberikan komoditas tersebut untuk dimiliki oleh seseorang, karena komoditas tersebut merupakan milik publik, hak milik bagi seluruh kaum muslim, privatisasi komoditas tersebut untuk dimiliki seorang individu merupakan pelanggaran bagi hak kaum muslim, dan hal itu tidak dibenarkan.”

Ibnu Qudamah, pemuka madzhab Hanabilah, dalam kitab al-Mughni berkata, “Barang tambang yang dibutuhkan dan dimanfaatkan oleh kaum muslim dan tanpa menggunakan biaya seperti garam, air, gas bumi, bahan kimia (obat-obatan), minyak bumi, yakut dan lainnya tidak boleh dimiliki oleh seorang individu, tetap menjadi milik publik bagi kehidupan muslim, jika dimiliki oleh individu dikhawatirkan akan terdapat dharar dan menyulitkan bagi mereka.”

Proses nasionalisasi atas barang tambang, mungkin disebabkan karena hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan kinerja atau biaya yang dikeluarkan untuk proses pendulangan. Sehingga, dikhawatirkan jika hal itu diserahkan kepada individu untuk mengelolanya, akan terdapat monopoli dan terjadi kenaikan harga yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Pada akhirnya masyarakat akan mendapatkan kemadharatan. Dalam kehidupan sosial akan tercipta kesenjangan sosial yang tajam, karena si pengelola akan meraup keuntungan yang melimpah.

Ulama fiqh sepakat, bahwa tempat peribadatan, madrasah, jalan, aliran sungai, wakaf yang diperuntukkan demi kebaikan umat dikategorikan sebagai kepemilikan publik. Adapun dalam kasus tanah pertanian yang membutuhkan daya upaya, tenaga, dan biaya untuk menggarapnya, ketika telah berhasil panen dan menghasilkan pendapatan, apakah pemilik tanah tersebut mutlak untuk memilikinya atau ada pembagian khusus?

Dalam Islam diperbolehkan untuk melakukan ijtihad atas persoalaan yang belum disebutkan dalam nash, seperti terjadi dalam kasus tanah Khaibar, di mana pada tahun ketujuh hijriah, tanah Khaibar telah berhasil dikuasai oleh kaum muslimin. Tanah-tanah tersebut tetap dibiarkan untuk dimiliki oleh pemilik lama, namun ketika panen telah didapatkan, maka sebagian dari hasil panen diberikan kepada pemilik lama, dan sebagian lagi diberikan kepada Nabi (negara). Atas hasil panen tersebut digunakan untuk membiayai segala kebutuhan operasional negara dan masyarakat. Konsep tersebut tetap dijalankan atas segala tanah yang berhasil dikuasai oleh kaum muslimin, dari hasil panen yang didapatkan, sebagian diberikan kepada pemilik dan sebagian diberikan kepada negara atau baitul maal. Hasil yang diberikan kepada baitul maal selanjutnya dinamakan Kharaj.

Konsep tersebut juga pernah dijalankan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika berhasil menguasai Iraq dan Syam. Orang-orang yang ikut berperang, menginginkan agar tanah-tanah tersebut dibagikan sebagaimana ghanimah lainnya. Kemudian Umar Ra. mengumpulkan seluruh sahabat dan para ahli fiqh di antaranya terdapat Ali bin Abu Thalib yang mengukuhkan pendapatnya bahwa tanah tersebut tetap dimiliki oleh pemilik lama, namun diharuskan untuk membayar Kharaj. Kemudian Kharaj menjadi penghasilan atau sumber dana tetap bagi baitul maal yang digunakan untuk membiayai perang, membantu orang yang lemah dan fakir miskin.

Berdasarkan atas ijma’ sahabat, maka tanah yang didapatkan dari penaklukan perang, tetap merupakan hak milik pemilik lama. Namun kepemilikan yang mereka miliki hanyalah sekedar untuk memanfaatkan. Kepemilikan atas tanah itu tetap milik pemerintah, dalam arti pemerintah berhak untuk memindahkan kepemilikan tanah itu kepada orang lain, jika pemilik lama dipandang tidak mampu mengelolanya dengan baik. Pemerintah mempunyai hak untuk mencabut kepemilikan atas tanah-tanah itu, namun proses pencabutan itu tetap berdasarkan atas asas maslahat bagi kehidupan masyarakat. Diharapkan proses pengalihan kepemilikan itu harus disandarkan pada asas solidaritas sosial, dalam arti kemanfaatan yang ada bagi masyarakat haruslah lebih besar daripada kemadharatannya.

Negara mempunyai hak untuk memberikan tanah yang tidak ada ahlinya kepada seseorang yang fakir untuk mengelolanya. Namun perlu diingat akan hal yang pernah dikatakan oleh Umar Ra., bahwa pemberian tanah tersebut tidak dimaksudkan untuk menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya, namun sekedar untuk memenuhi kebutuhannya dan merupakan wujud solidaritas sosial. Orang yang diberi tanah tersebut harus giat bekerja demi kemaslahatan dirinya dan umat. Maka dari itu, Umar Ra. berkeinginan untuk menarik kembali tanah yang diberikan oleh Nabi kepada sahabat Bilal dengan berkata: “Rasulullah memberikan tanah tersebut kepadamu bukan dengan maksud agar orang lain tidak bisa memanfaatkannya, namun privatisasi itu dilakukan agar kamu mau bekerja untuk memenuhi kebutuhan, maka ambilah apa yang kamu perlukan dan kembalikan kelebihannya kepada umat.”

 

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}