Preloader logo

FIQIH DUIT (Bagian Ke-8)

Pada edisi sebelumnya telah disebutkan bahwa riba diharamkan bukan karena besar atau kecilnya prosentase, konsumtif atau produktif, melainkan karena ‘illat (sebab)nya, yakni sifat persyaratan atau perjanjian yang mengandung kezaliman. Hanya saja dalam memahami sifat yang mengandung kezaliman itu para ulama berbeda pendapat, sehingga melahirkan ta’rif atau definisi riba yang beragam. Dalam edisi ini, akan dikupas kriteria riba sebagai alat untuk “menemukan” sifat kezaliman yang terkandung dalam sistem riba.

Kriteria Riba

A. Secara Bahasa

Riba, secara bahasa adalah الزيادة (kelebihan atau penambahan). Dilihat dari makna bahasa, riba tidak berbeda dengan ar-ribhu (profit, keuntungan), yakni sama-sama

الزِّيَادَةُ عَلَى رَأْسِ الْمَالِ

“Penambahan atas harta pokok.”

Dari pengertian bahasa ini akan muncul anggapan bahwa jual-beli sama dengan riba, karena keduanya menghasilkan kelebihan dari modal atau pokok harta. Dari aspek ini, orang Yahudi menemukan celah untuk berhelah saat menolak pengharaman riba dengan mengatakan:

إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا

“sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” QS. Al-Baqarah: 275

Kemudian helah mereka dibantah oleh Allah dengan firman-Nya:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” QS. Al-Baqarah: 275

Tanpa melihat konteks ayat ini, kalimat di atas begitu jelas artinya, bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba` itu haram. Pengertian inilah yang segera dapat ditangkap oleh akal pikiran kita tanpa memerlukan qarînah (indikasi atau keterangan lain) untuk menjelaskannya. Namun demikian, ayat ini bukan hanya sekedar menyatakan bahwa jual beli itu halal dan riba` itu haram hukumnya, tetapi ayat ini untuk menyatakan dan membantah orang-orang Yahudi waktu itu yang beranggapan jual-beli itu sama dengan riba`, padahal jual-beli itu tidak sama dengan riba`.

Sehubungan dengan itu, makna secara bahasa tidak dapat dijadikan dasar untuk menganalisa ketetapan hukum dalam pembahasan riba ini.

B. Secara Istilah

Kajian terhadap masalah ini telah dilakukan oleh para ulama dari masa ke masa, sehingga kriteria riba yang ditetapkan pun mengalami perkembangan sebagai berikut:

Pandangan ulama mutaqaddimin (abad I – V H)

Zaid bin Aslam berkata:

إِنَّمَا كَانَ الرِّبَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فِي التَّضْعِيْفِ وَفِي السِّنِّ يَكُوْنُ لِلرَّجُلِ فَضْلُ دَيْنٍ فَيَأْتِيْهِ إِذَا حَلَّ الأَجَلُ فَيَقُوْلُ لَهُ تَقْضِيْنِيْ أَوْ تَزِيْدُنِيْ

Yang dimaksud dengan riba jahiliyyah dalam pelipatgandaan dan usia (waktu) adalah seseorang yang memiliki piutang (atas mitranya). Pada saat jatuh tempo, ia mendatanginya lalu berkata, “Lunasi sekarang atau tambah pembayaran.” Lihat, Tafsir at-Thabari, IV:90.

Mujahid berkata:

كَانُوْا يَبِيْعُوْنَ الْبَيْعَ إِلَى أَجَلٍ فَإِذَا حَلَّ الأَجَلُ زَادُوْا فِي الثَّمَنِ عَلَى أَنْ يُؤَخِّرُوْا

“Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu membayar), mereka (si pembeli) memberikan tambahan harga atas tambahan waktu.” Lihat, Tafsir al- Qurthubi, IV:202

Namun dalam versi lain, beliau berkata:

كَانُوْا فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَكُوْنُ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ فَيَقُوْلُ لَكَ كَذَا وَكَذَا وتؤخر عَنِّيْ فَيُؤَخَّرُ عَنْهُ

“(Riba yang diharamkan pada masa jahiliyyah) adalah seseorang berutang pada orang lain, lalu si peminjam berkata, ‘Bagimu (tambahan) sekian dan sekian, dan berilah aku tempo.’ Maka dia diberi tempo.” Lihat, Tafsir at-Thabari, III:101

Qatadah berkata:

أَنَّ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ يَبِيْعُ الرَّجُلُ الْبَيْعَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا حَلَّ الأَجَلُ وَلَمْ يَكُنْ عِنْدَ صَاحِبِهِ قَضَاءٌ زَادَهُ وَأَخَّرَ عَنْهُ

“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo (kredit) hingga waktu tertentu. Apabila telah jatuh tempo dan si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran atas penangguhan.” Lihat, Tafsir at-Thabari, III:101

Ketika Imam Ahmad ditanya tentang riba, ia menjawab:

وَهُوَ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ دَيْنٌ فَيَقُوْلُ لَهُ أَتَقْضِيْ أَمْ تُرْبِيْ فَإِنْ لَمْ يَقْضِهِ زَادَهُ فِي الْمَالِ وَزَادَهُ هذَا فِي الأَجَلِ

“Riba itu adalah seseorang memiliki utang, lalu dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah pada harta (pinjaman) itu atas penambahan waktu.” Lihat, Tafsir al-Manar, IV: 102

Beberapa pandangan ulama mutaqaddimin (abad I – V H), sebagaimana tersebut di atas, menjelaskan karakteristik riba Jahiliyyah, yang populer disebut riba nasi’ah atau riba pada pinjaman uang.

Beberapa pandangan ulama pada periode selanjutnya akan disampaikan pada edisi selanjutnya.

By Amin Muchtar, sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}