Preloader logo

FIQH SIYASAH ALA METODE NABI (BAGIAN III)

Aplikasi Fiqh Siyasah (1): Ijtihad Politik Nabi saw.

Bagi umat Islam, Nabi Muhammad saw. adalah suri teladan dalam segala bidang kehidupan. Tidak hanya dalam masalah-masalah agama yang terkait dengan hubungan dengan Allah, Sang Khalik, tetapi juga dalam persoalan-persoalan yang terkait dengan hubungan dengan sesama makhluk.

 

Muhammad adalah pribadi yang komplit. Ia adalah seorang Nabi, juru dakwah yang berhasil mengubah bangsa Arab yang polyteis menjadi penganut agama Islam yang mentauhidkan Allah. Ia juga adalah seorang panglima perang yang rela terjung langsung ke medan perang memimpin pasukan Muslim menghadapi musuh. Di sisi lain, ia juga adalah seorang politikus yang mampu mempersatukan bangsa Arab dari berbagai suku dan klan dalam satu komunitas baru, kaum muslimin. Sebuah prestasi yang belum pernah dicapai oleh pemimpin Arab sebelumnya.

 

Keberhasilan Muhammad itu tidak diraih dengan mudah, tetapi melalui perjuangan yang sangat keras dan dilakukan secara bertahap dan sistematis. Dari catatan sejarah yang dapat ditelusuri, perjuangan Muhammad ditempuh dalam dua periode, Mekah dan Madinah. Jika pada periode Mekah, peran Muhammad lebih ditekankan pada bagaimana mengajak orang-orang musyrik Mekah untuk mengenal Allah dan mentauhidkannya, serta membentuk fondasi bagi terbentuknya komunitas baru, maka pada periode Medinah, peran Nabi lebih pada bagaimana menata masyarakat yang baru, yaitu masyarakat Madinah yang heterogen dan plural, baik dari segi suku, asal-usul, maupun agama.

 

Seruan dakwah Muhammad saat di Mekah tidak langsung membuahkan hasil positif. Sebaliknya respons yang muncul dari masyarakat justru sangat menyakitkan. Kebanyakan warga dari masyarakat Quraisy saat itu membalas ajakan Rasulullah dengan intimadasi, sabotase, isolasi, dan kekerasan untuk menghalang-halangi meluasnya ajaran Islam. Namun Nabi tidak frustrasi, justru terpicu untuk berpikir keras agar mencari alternatif lain dalam mendakwahkan Islam. Hingga sampai pada keputusan untuk memindahkan objek dakwah Islam kepada masyarakat di luar Makkah.

 

Oleh karena itulah Nabi bersama para sahabatnya melakukan Hijrah dari Mekah ke Madinah. Hijrah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Hijrah menandai lahirnya sebuah negara baru, negara Madinah di mana Muhammad menjadi pemimpinnya. Dari sini kemudian Islam berhasil dipancarkan ke seantero jagad. Karena itu, model negara Madinah menjadi inspirasi dan ilham untuk mencari bentuk pengelolaan kehidupan modern sekarang ini, tidak saja bagi umat Islam, tetapi juga umat-umat lainnya.

 

Dalam penataan masyarakat baik di Mekah maupun di Madinah itu tentu saja terdapat dimensi wahyu dan ra’yu (ijtihad politik) yang beliau lakukan. Dalam konteks tasyri’i (penetapan undang-undang Islam), Rasulullah saw. berucap dan bertindak berdasarkan wahyu semata, sehingga beliau tidak berijtihad sedikitpun, karena seorang mujtahid itu bisa saja benar dan salah. Hal demikian (benar & salah) tidak layak ada pada diri Rasul (yang maksum) yang berkata dan bertindak berdasarkan wahyu. Namun dalam konteks strategi tatbiqi (aplikasi penetapan syariat), dan juga dakwah kepada syariat itu sendiri beliau bertindak sesuai pandangan dan ijtihadnya. Demikian itu demi mewujudkan kemaslahatan di dalam kehidupan kaum muslimin.

 

Sehubungan dengan itu, Imam al-Qurafi melihat bahwa ucapan dan tindakan Nabi Saw. dalam kapasitasnya sebagai rasul (penyampai wahyu) dan mufti (pemberi fatwa), keduanya bagian dari agama yang disyariatkan (beliau tidak berijtihad, namun hanya menyampaikan wahyu yang diterima). Sementara itu, dalam kapasitasnya sebagai hakim dan imam (pemimpin negara), keduanya bukanlah bagian mendasar agama yang absolut pelaksanaannya, seperti shalat dan puasa. Tetapi, keduanya merupakan ijtihad yang memperhatikan objek ijtihad yang kondisional, yang tidak lepas dari pengaruh waktu dan situasi yang senantiasa berubah. Di sini, Rasulullah Saw sebagai Imam (pemimpin negara) punya peran yang cukup luas, berperan sebagai hakim dan mufti. Olehnya itu, ia berhak melakukan sesuatu dengan mengatasnamakan dirinya hakim dan imam, seperti: menata strategi perang dan menyiapkan bala tentara, membagi hasil perang (ganimah), menyepakati dan menandatangani perjanjian damai, mengatur keuangan negara, menata perangkat-perangkat negara dengan memberi jabatan tertentu kepada yang layak menyandangnya dari sebagian sahabat, seperti: panglima perang, wali (gubernur di bahasa penulis), hakim, dan buruh kerja (Lihat, Al-Qarafi, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris, al-Ihkâm fi Tamyiz al-Fatâwa anil Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdi wal Imâm, hlm. 4)

 

Dalam kapasitas ini, kita mendapatkan beberapa mekanisme pengambilan kebijakan yang digunakan oleh Rasulullah saw.. ketika hendak menetapkan suatu masalah. Dalam banyak kasus, beliau bermusyawarah dengan para sahabat, namun terkadang dalam kasus tertentu beliau menggunakan hak prerogative yang dimiliki beliau sebagai pemimpin.

 

Karena itu dapat kita maklumi, bila kita menjumpai sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw. dari sebagian tindakannya: “Apakah ini wahyu samawi yang tidak mengenal tawar-menawar, ataukah ini ijtihad Anda wahai Rasulullah Saw?” Seperti yang dilontarkan Hubab bin al-Mundzir al-Anshari yang menyarankan Rasulullah Saw menyusun strategi perang di bawah sumur yang ada di bukit Badr. (Riwayat Al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, III: 482, Hadis No. 5801)

 

Di sini, Rasululullah Saw. mengikuti pendapat Hubab bin al-Mundzir yang menyarankan umat memilih dan menyusun strategi perang di bawah sumur yang ada di bukit Badr. Sumur itu dilubangi sehingga airnya habis ditampung oleh bala tentara Islam di kawasan strategi mereka, sehinga mereka minum dan kaum Quraisy tidak minum. Mengapa Rasululullah Saw. mengikuti pendapat Hubab? Tiada lain karena pada usulan Hubab terdapat siasat yang ashlah (lebih maslahat).

 

Di kisah yang sama, setelah kaum Quraisy kalah di perang Badr tersebut, umat Islam berhasil menawan dari mereka 70 pemuka kaum. Di sini, Rasulullah Saw. punya dua pilihan, apakah beliau mengambil tebusan kemudian melepaskan mereka, atau membunuh mereka semua. Yang pertama saran Abu Bakar, dan yang kedua saran Umar setelah Rasulullah Saw meminta musyawarah mereka. Sementara itu, Rasulullah Saw tidak diperhadapkan dua opsi, kecuali ia mengambil yang paling mudah selagi itu bukan dosa yang menyalahi syariat. Olehnya itu, Rasul Saw berijtihad mengambil tebusan dan membebaskan mereka. Yang demikian itu karena uang tebusan itu dapat menguatkan stabilitas keamanan, sosial, dan keuangan negara Islam. Dan bagi yang tidak punya uang tebusan, mereka diminta untuk mengajar anak-anak sahabat membaca dan menulis hingga mereka benar-benar menguasainya.

 

Contoh lain, pada perang Uhud. Sahabat yang lebih tua yang notabene lebih sedikit menyarankan strategi defensif dengan tetap bertahan di madinah dan menunggu pasukan Quraisy datang menyerang. Rasulullah pun setuju. Namun sahabat yang jauh lebih muda menyarankan kepada Rasulullah saw. untuk opensif, dengan menyongsong musuh. Karena jumlah suara yang menyarankan pergi keluar lebih banyak, dan di sana terdapat kemaslahan yang lebih, maka Rasulullah kembali ke rumah dan memakai pakaian perangnya. Para sahabat merasa tidak enak hati karena telah memaksa Rasulullah, namun beliau menyikapinya dengan bersabda:

مَا يَنْبَغِيْ لِنَبِيٍّ إِذَا لَبِسَ لِأُمَّتِهِ أَنْ يَضَعَهَا حَتَّى يُقَاتِلَ

”jika seorang nabi telah memakai baju perangnya, maka tidak patut baginya untuk melepaskannya sebelum ia berperang.” Kemudian Rasulullah berangkat menuju Bukit Uhud bersama 1.000 prajurit. (Lihat, Asy-Syuraa fii asy-Syari’ah al-Islamiyyah: 152-153)

 

Contoh lain, dalam kebijakan distribusi ghanimah. Pada perang Hunain. Nabi saw. memberikan ganimah (harta hasil berperang) hanya kepada sebagian kalangan kaum muslim, dan tidak memberikan kepada yang lainnya, dengan memperhatikan hal ini saja, syara’ telah menyerahkan ketentuan pembelanjaan harta milik negara tersebut kepada Kepala Negara. Sedangkan untuk perkara yang lainnya, tidak berlaku ketentuan tadi, misalya distribusi zakat, karena pos mustahiq zakat telah diatur secara syariat hanya untuk delapan golongan saja.

Contoh lain, dalam kebijakan pengaturan administrasi lembaga negara, sebagaimana ketika Rasul saw. mengangkat seseorang menjadi Wali (Gubernur) atau Qadhi (Hakim). Maka hal ini tidak bisa dikatakan bahwa orang yang menjadi Wali tersebut, kekuasaannya sempurna karena wahyu, tapi itu sebenarnya adalah masalah pengaturan (administratif) urusan negara, dalam rangka pemilihan para Wali, dan yang semisalnya, sesuai Ijtihad Nabi saw.—dalam kapasitas beliau sebagai Kepala Negara—demi mewujudkan kemaslahatan seluruh kaum muslim.

 

Contoh lain, dalam kebijakan moneter, yaitu penggunaan dinar dan dirham.

Mata uang yang digunakan masyarakat Arab pra Islam adalah emas dan perak. Dari kedua logam mulia tersebut kemudian dicetak Dinar (koin emas) dan Dirham (koin perak). Sebenarnya mata uang Dinar dibentuk dan dicetak oleh Kekaisaran Romawi, berukiran gambar raja dan bertuliskan huruf Romawi. Sehubungan dengan itu Ibnu Abdil Barr menjelaskan, “Kata Dinar adalah arabisasi dari kata Denarius. Dinar adalah mata uang romawi kuno, dan masih berlaku disebagian Negara Eropa. Dalam injil disebutkan nama dinar berkali-kali. Dinar ditimbang dalam satuan mistqal. Satu mistqal sama dengan 72 biji gandum yang sedang. Tidak ada perubahan pada masa jahiliyah dan pada masa permulaan Islam.” (Lihat, At-Tamhid, XXII:170)

 

Orang-orang Arab Quraisy (penduduk Makkah) sering melaksanakan perdagangan ke berbagai pelosok wilayah, baik ke wilayah Romawi di negeri Syam (yang sekarang meliputi Palestina, Yordania, Syiria, dan Libanon) ataupun ke wilayah Persia di Irak dan sekitarnya. Ketika mereka kembali dari Syam, mereka biasanya membawa Dinar. Begitu juga ketika mereka kembali dari Irak, mereka membawa Dirham. Dari gambaran keadaan di atas tampak jelas bahwa mata uang emas dan perak sudah digunakan oleh bangsa Romawi (emas) dan Persia (perak) yang notabene jauh sebelum Islam datang.

 

Mata uang Dinar dan Dirham yang mereka bawa tidak dipakai untuk melakukan transaksi, akan tetapi mereka menggunakan kedua mata uang tersebut untuk timbangan saja. Maksudnya untuk menghindari penipuan (mata uang yang semakin banyak beredar di kalangan mereka), mereka bersandar pada timbangan. Dan mereka masih belum berpikir ke arah taraf pencetakan uang (atau menjadikan uang Dinar dan Dirham untuk transaksi). Adapun timbangan yang biasa mereka gunakan adalah: rithl, uqiyah, nasy, nuwat, mitsqal, dirham, daniq, qirath, dan habbah.

 

Demikianlah seterusnya sampai Islam datang, dan sepanjang kehidupan Nabi Muhmmad saw., beliau tidak merekomendasikan perubahan apapun terhadap kedua mata uang itu. Artinya Nabi membenarkan praktek ini. Hal itu ditetapkan oleh beliau dalam kapasitas sebagai pemimpin karena terdapat kemaslahatan di dalamnya, meskipun kedua mata uang itu produk kaum kafir: Nasrani dan Majusi.

 

Contoh lain, Kebijakan koalisi dan kompromi politik (at-Tahaluf).

Secara bahasa Arab (lughah), at-Tahaluf (kompromi) berasal dari kata al-Hilfu yang artinya perjanjian untuk saling menolong, ia berasal dari kata halafa-yahlifu-hilfan. Dalam bentuk kalimat dikatakan hilfuhu fulan fayakunu halifuhu (Fulan berjanji dengan fulan maka ia menjadi sahabatnya). (Lihat, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ahmad bin Fariz bin Zakaria, Bab ha, lam, fa; juz 2, hal 97-98)

Secara syara’ maknanya pun sama, dalam hadis Nabi saw.disebutkan dari Ashim ra:

قُلْتُ لِأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَبَلَغَكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ قَدْ حَالَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ قُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارِ فِي دَارِي

“Aku berkata kepada Anas bin Malik : Apakah telah sampai kepadamu bahwa Nabi saw.bersabda: “Tidak ada hilfu dalam Islam.” Maka jawab Anas ra: “Bahkan Nabi saw.telah mengambil sumpah suku Quraisy dan Anshar dirumahku.” (HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, II: 803, Hadis No. 2172)

 

Berikut ini dapat dikemukakan beberapa contoh kompromi politik pada masa awal kenabian yang dilakukan Nabi saw. dengan kaum musyrikin, baik perorangan maupun kelompok

 

  1. Perlindungan Abu Thalib pada Nabi saw.

 

Ketika turun Al Qur’an surat Asy-Syu’araa (26) ayat 214, maka Nabi saw. memanggil Bani Hasyim, Bani Muthalib bin Abdi Manaf, dan berkata, “Segala puji bagi Allah, aku memuji dan dan memohon pertolongan kepada-Nya, beriman dan bertawakkal kepada-Nya, aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Sesungguhnya pemandu jalan tidak akan menyesatkan orang yang dipandu. Demi Allah yang tiada Ilah kecuali Dia, Dia Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, bahwa aku adalah utusan Allah bagi kalian secara khusus serta untuk semua manusia secara umum. Demi Allah bahwa kalian akan meninggal dunia sebagaimana kalian tidur dan akan dihidupkan kembali sebagaimana kalian bangun, lalu kalian akan diminta pertanggungjawaban dari apa yang telah kalian lakukan. Sesungguhnya surga dan neraka adalah abadi.”

Maka Abu Thalib berkata, “Alangkah senangnya aku dapat menolongmu, menerima segala nasihatmu, dan menjadi orang yang paling percaya akan tutur katamu, mereka yang berkumpul ini adalah keturunan nenek moyangmu, dan aku adalah salah satu dari mereka, hanya saja aku adalah orang yang paling dulu senang dengan apa yang kau senangi, maka laksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan kepadamu. Demi ALLAH aku akan selalu bersamamu dan menjagamu, akan tetapi aku tidak mampu meninggalkan agama Abdul Muthalib.”

Maka Abu Lahab berkata, “Demi Allah ini adalah malapetaka! Cegah dia sebelum mempengaruhi yang lain!” Maka jawab Abu Thalib, “Demi Allah! Aku akan selalu menjaganya selama aku masih hidup!”( Lihat, Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz I, hal 265)

 

  1. Perlindungan Syi’ib Bani Hasyim

 

Diriwayatkan oleh Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab az-Zuhri, “Orang-orang kafir berkumpul untuk merencanakan pembunuhan pada Nabi saw, yang akan dilakukan secara terang-terangan, ketika kabar itu didengar oleh Abu Thalib, maka ia mengumpulkan bani Hasyim dan bani Muthalib untuk melindungi Nabi saw., di antara mereka ada yang melakukannya berdasarkan keyakinan pada kebenaran Islam dan ada pula yang ingin melindunginya karena hubungan kekeluargaan (ta’ashub; kesukuan) saja. (Lihat, Sirah Nabawiyyah, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 93)

 

  1. Perlindungan Muth’im bin ‘Adi

 

Ketika Nabi saw. pulang dari Tha’if untuk kembali ke Mekah, maka beliau mengutus seseorang dari suku Khuza’ah untuk menemui Muth’im bin Adi dan berkata, “Apakah engkau bersedia menjadi pelindung Muhammad?” Muth’im menjawab, “Ya.” Lalu ia menyiapkan pedangnya dan berkata pada kaumnya, “Hunuskan senjata kalian dan berdirilah di setiap pojok Ka’bah, sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad!” Muth’im lalu mengutus orang untuk mempersilakan Muhammad saw. masuk ke Mekah, maka Nabi saw.dan Zaid bin Haritsah ra pun memasuki Mekah. Sesampainya di Ka’bah, maka Muth’im bin Adi duduk di atas ontanya sambil berkata, “Hai orang-orang Quraisy! Sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad, maka jangan ada yang berani mengganggunya!”

Maka Nabi saw. pun menyelesaikan thawaf, mencium hajar aswad, melakukan shalat 2 raka’at dan kembali ke rumahnya. Sedangkan Muth’im dan anak-anaknya terus menjaga Nabi saw., sampai ia masuk ke rumahnya. (Lihat, ar-Rahiq al-Makhtum, al-Mubarakafuri, riwayat Zuhr dari Musa bin Uqbah; al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir, juz-III, hal. 150)

 

Semua peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana Nabi saw. menjalin koalisi dengan orang-orang kafir dengan tiada satupun dari ayat Al-Qur’an yang memerintahkan maupun yang melarangnya.

 

Fiqh siyasah yang bisa diambil dalam hal ini adalah Bahwa pada fase dakwah tertentu dimana ketika kondisi gerakan Islam masih kecil dan bargaining-positionnya pun masih lemah, maka Islam mentolerir untuk melakukan koalisi baik terhadap personal (kasus perlindungan Abu Thalib, Muth’im bin ‘Adiy), maupun terhadap kelompok (kasus perlindungan Syi’ib Bani Hasyim dan tawaran Nabi saw.terhadap kabilah-kabilah Arab)

 

Dan masih banyak lagi contoh-contoh kasus ijtihad politik Nabi saw. yang menunjukkan kepiawaian dan ketajaman analisa politik beliau dalam menangani masalah-masalah social dan kenegaraan demi kemaslahatan kaum muslimin, yang tentu saja menuntut ketepatan dan ketangkasan khusus.

 

Dimensi ra’yu (ijtihad politik) yang beliau lakukan dalam kapasitas sebagai pemimpin dapat ditelaah melalui metode fiqh siyasah—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya—sehingga kebijakan Nabi dalam penataan masyarakat saat itu dapat ditiru, meski tidak sepenuhnya, sesuai dengan konteks social-politik pada masa sekarang.

 

Aspek lain yang tidak kalah penting untuk ditiru, bahwa ijtihad yang mendasari kebijakan politik beliau senantiasa tidak menimbulkan “kegaduhan” di internal kaum muslimin. Hal itu tiada lain karena mereka yang terlibat atau dilibatkan sudah terdidik: memiliki pengetahuan dan kesadaran politik.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}