Preloader logo

FATWA DEWAN HISBAH (8): BOLEHKAH MENGGUGAT WAKAF?

 

Perkara ketiga dalam sidang Dewan Hisbah PP Persis, di hari Kamis 27 Agustus 2015, berkenaan dengan: “Menggugat Wakaf karena tidak Sesuai Akad. Sidang yang dimulai sekitar pukul 11.00 WIB itu, menghadirkan KH.Salam Russyad, alumni pesantren Persis Bangil, Jawa Timur, sebagai pemakalah, dengan moderator KH.Ahmad Daeroby.

Pokok-pokok pikiran KH.Salam dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, Hukum Asal Waqaf

Dalam masalah ini, KH.Salam berpendapat, bahwa pada dasarnya harta yang diwaqafkan tidak boleh ditarik kembali, karena akad waqaf pada hakikatnya adalah memindahkan kepemilikan kepada Allah. Namun demikian, menurut KH.Salam, ulama imam mazhab berbeda pendapat dalam hal memahamkan waqaf itu sendiri. Misalnya, apakah harta waqaf itu masih kepunyaan Waqif (orang yang berwaqaf) atau sudah lepas pada waktu harta itu diwaqafkan. Selanjutnya, KH. Salam mengemukakan beberapa pendapat imam mazhab mengenai waqaf, baik dari kalangan Hanafi, Maliki, maupun Syafi’i.

(a)  Mazhab Hanafi

Menurut KH.Salam, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta yang telah diwaqafkan tetap menjadi milik Wakif dan boleh ditarik kembali. Dengan demikian harta itu tetap milik Wakif, hanya hasil dan manfaatnya saja yang digunakan untuk tujuan waqaf. Namun demikian madzhab ini memberikan pengecualian terhadap waqaf mesjid, waqaf yang ditentukan oleh keputusan mahkamah/pengadilan dan wakaf wasiat, ini  tidak boleh ditarik kembali.

Lebih lanjut KH.Salam menjelaskan, madzhab ini menjelaskan bahwa dengan diwaqafkanya suatu harta bukan berarti bahwa harta tersebut lepas dari pemiliknya. Oleh karena itu, bolehlah kembali dan mengambil kembali harta yang telah diwaqafkan. Bahkan boleh pula untuk menjualnya. Untuk hal ini Abu Hanifah memandang waqaf sama halnya dengan barang pinjaman, dan sebagai barang pinjaman tentu saja pemilik tetap memiliki harta itu serta boleh meminta dan menjualnya kembali kapan saja dikehendakinya.

(b)  Mazhab Imam Maliki

Menurut mazhab ini, kata KH.Salam, pemilik dari harta waqaf sama seperti pendapat mazhab Imam  Abu Hanifah, yaitu harta waqaf tetap milik orang yang berwaqaf. Tetapi tidak boleh dialihkan selama harta tersebut masih berada dalam status waqaf. Namun demikian, lanjut KH.Salam, menurut mazhab ini boleh berwaqaf untuk jangka waktu tertentu, dan bila masa yang telah ditentukan berlalu, bolehlah orang yang berwakaf mengambil kembali harta yang telah diwakafkannya. Pendapat ini mereka dasarkan kepada hadis Ibnu Umar, ketika Rasulullah menyatakan kepada Umar “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedekahkan hasilnya”. Menurut madzhab ini, Rasulullah saw hanya menyuruh mensedekahkan hasilnya saja. Dari penjelasan itu, wakaf boleh untuk masa waktu tertentu. Lebih lanjut imam Maliki mengemukakan bahwa tidak ada satu dalil yang mengharuskan wakaf itu untuk selama-lamanya.

(c)   Mazhab Imam Syaf’i

KH.Salam menuturkan bahwa pendapat Imam Syafi’i berbeda dengan pendapat imam sebelumnya. Imam Syafi’i berpendapat bahawa harta yang telah diwakafkan terlepas sama sekali dari Waqif yang telah mewaqafkannya, dan menjadi milik Allah. Oleh karena itu, menurut imam Syafi’i harta waqaf itu berlaku untuk selamanya, dan waqaf dengan masa tertentu tidak boleh sama sekali. Dan tidak boleh mengembalikan harta waqaf kepada Waqif jika ia ingin mengambilnya kembali.

Menurut KH. Salam, Imam Syafi’i beralasan dengan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar mengenai tanah di Khaibar. Dalam pemahaman Imam Syafi’i bahwa tindakan umar mensedekahkan hartanya dengan tidak menjualnya, mewariskannya dan tidak menghibahkannya pada masa itu didiamkan oleh Rasulullah saw. sedangkan diamnya Rasulullah saw adalah taqrir. Dengan demikian, waqaf itu berlaku untuk selamanya.

Dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab di atas, KH.Salam tidak menunjukkan sikapnya.

78

Kedua, Menggugat Waqaf

Dalam masalah ini, KH.Salam berpendapat bahwa wakaf tidak terlepas dari akad. Dilihat dari aspek akad ini, menurut beliau, wakaf terbagi menjadi dua macam:  (1) Wakaf Mutlaq dan (2) Waqaf Muqayyad. Wakaf Mutlaq adalah wakaf yang serahkan oleh Waqif kepada Mauquf ‘alaih (penerima wakaf) tanpa persyaratan pengelolaan dan penggunaan. Maka penerima wakaf memiliki kewenangan dalam penggunaan dan pengelolaannya, selama tidak keluar dari tujuan wakaf. Hal ini berbeda dengan wakaf Muqayyad, karena dalam wakaf jenis ini, barang wakaf yang diserahkan oleh Waqif kepada penerima wakaf  disertai dengan syarat penggunaan dan pengelolaan. Berarti penerima wakaf tidak memiliki kewenangan sepenuhnya dalam penggunaan dan pengelolaan wakaf itu, karena ditentukan oleh wakif.

Menurut KH.Salam, kebolehan berwakaf secara mutlaq dan muqayyad berdasarkan beberapa hadis sebagai berikut:

Pertama:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قال: كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ أَنْصَارِيٍّ بِالْمَدِينَةِ مَالًا مِنْ نَخْلٍ، أَحَبُّ مَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرُحَاءَ، مُسْتَقْبِلَةَ المَسْجِدِ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ، قَالَ أَنَسٌ: فَلَمَّا نَزَلَتْ: {لَنْ تَنَالُوا البِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} [آل عمران: 92]، قَامَ أَبُو طَلْحَةَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {لَنْ تَنَالُوا البِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} [آل عمران: 92] وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءَ، وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ، فَضَعْهَا حَيْثُ أَرَاكَ اللَّهُ، فَقَالَ: «بَخْ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ، وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ، وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الأَقْرَبِينَ»، قَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَفْعَلُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ، وَفِي بَنِي عَمِّهِ. (رواه البخاري، رقم الحديث: 2769)

Dari Anas bin Malik Ra., ia berkata, “Abu Thalhah adalah seorang Anshar yang paling banyak memiliki kebun kurma di Madinah, kebun kurma miliknya yang paling ia sukai adalah yang berada di daerah Bairuha’ yang berhadapan dengan Masjid. Nabi saw. masuk ke kebun itu dan meminum dari air jernih yang ada di dalamnya. Anas berkata, ‘Ketika turun ayat Alu Imran: 92, Abu Thalhah berdiri lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah berfirman, ‘Kalian tidak akan mendapat kebaikan sebelum kalian mendermakan sebagian dari apa-apa yang kalian sukai,’ sungguh hartaku yang paling saya sukai adalah yang ada di Bairuha’ itu, sekarang kebun itu saya sedekahkan(waqafkan) kepada Allah, saya mengharapkan kebaikan dan ganjarannya di sisi Allah, maka tentukannlah mengenai kebun itu menurut yang Allah tunjukkan kepada engkau wahai Rasulullah.’ Maka Rasulullah swa bersabda, ‘Wah…itu adalah kebun yang produktif, saya telah mendengar apa yang engkau katakan dan saya berpendapat hendaknya engkau bagikan kepada keluarga dekatmu.’ Abu Thalhah berkata, ‘Saya akan lakukan itu wahai Rasulullah. Lalu Abu Thalhah membagikan kebun itu pada keluarganya dan anak-anak pamannya’. HR. Al-Bukhari, No. Hadis 2769.

Menurut KH.Salam, dari perkataan Abu Thalhah: “Maka tentukannlah mengenai kebun itu menurut yang Allah tunjukkan kepada engkau wahai Rasulullah” dapat difahami bahwa Abu Thalhah mewaqafkan kebunya itu tanpa syarat apa-apa. Penggunaan dan pengelolaannya diserahkan kepada Rasulullah saw sebagai penerima waqaf, maka Rasulullah pun menentukan penggunaan dan pengelolaannya. Dari sinilah muncul sebutan Waqaf Muthlaq.

Kedua:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ ؟ قَالَ: «إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا» قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ، أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الفُقَرَاءِ، وَفِي القُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ، وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ، وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ. (رواه البخاري، رقم الحديث: 2737).

Dari Ibnu Umar Ra., ia berkata, “bahwasanya Umar bin Khatthab pernah mendapatkan sebidang tanah dikhaibar, lalu ia datang kepada Nabi saw. minta pendapat beliau, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya mendapat tanah di Khaibar, saya tidak penah mendapat tanah sebagus itu,  apa yang engkau perintahkan tentang tanah itu?’ Maka Rasulullah saw bersabda, ‘Jika engkau mau, boleh engkau tahan (tetap memiliki) tanah itu dan engkau sedekahkan (wakafkan) hasilnya.’ Maka Umar pun mensedekahkan (mewakafkan) hasilnya. Ia memberi syarat tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan. Tetapi harus diwakafkan untuk membantu orang miskin, keluarga dekat yang membutuhkan, penegakan agama Allah, ibnu sabil dan memberikan makan buat tamu. Orang yang mengurusinya boleh memakan dan memberikan keluarga darinya dengan sewajarnya tetapi tidak boleh dimiliki’.” HR. Al-Bukhari, No. hadis 2737

KH.Salam menyatakan, bahwa dalam hadis ini Umar menetapkan penggunaan dan pengelolaan tanah yang diwaqafkan itu. Ketentuan Umar tersebut didiamkan oleh Rasulullah saw, berarti itu adalah taqrir dari beliau. Dengan demikian dapat difahami bahwa ketentuan yang ditetapkan oleh Umar tentang wakaf dari hasil tanahnya itu adalah sebagai Wakaf Muqayyad.

Sehubungan dengan wakaf muqayyad, KH.Salam menegaskan, pengelola Wakaf Muqayyad berkewajiban mengelola dan menggunakan wakaf itu sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh Waqif karena termasuk syarat sesama muslim. KH.Salam merujuk kepada hadis Abu Huraerah riwayat Abu Dawud dengan redaksi:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

“Orang-orang muslim itu harus menjalankan syarat-syarat di antara mereka.”

Sementara dalam riwayat al-Bukhari secara mu’allaq, dengan redaksi:

المُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ

“Orang-orang muslim itu menurut persyaratan di antara mereka.”

Menurut KH.Salam, hadis ini menerangkan bahwa persyaratan apapun yang dilakukan sesama muslim maka wajib dilaksanakan selama persyaratan tersebut tidak melanggar syari’at. Karena itu seseorang atau lembaga yang menerima Wakaf Muqayyad wajib menggunakan dan mengelola wakaf tersebut sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh Waqif. Dan Waqif boleh menegur dan menggugat  penggunaan atau pengelolaan yang tidak sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.

Setelah menyampaikan berbagai pokok pikiran, sebagaimana tersebut di atas, KH.Salam Russyad menutup makalahnya, dengan kesimpulan sebagai berikut:

1.       Secara hukum asal status wakaf tidak boleh digugat.

2.       Wakaf ada dua macam: Wakaf Mutlaq dan Wakaf Muqayyad.

3.      Pengelolaan dan penggunaan Wakaf Mutlaq tidak boleh digugat, sedangkan pengelolaan dan penggunaan Wakaf Muqayyad dapat digugat oleh Waqif apabila menyalahi perjanjian.

4.      Hukum menggugat status waqaf yang sudah sah menurut syar’i adalah Haram.

5.      Hukum menggugat penggunaan dan pengelolaan Waqaf Mutlaq adalah Haram.

6.      Hukum menggugat penggunaan dan pengelolaan Waqaf Muqayyad adalah Mubah.

Selanjutnya, KH.Ahmad Daeroby, sebagai moderator tema ketiga pada sidang di hari kedua ini, memberikan kesempatan kepada para anggota Dewan Hisbah untuk menyampaikan pandangannya.

Setelah dilakukan diskusi dan penilaian dari para anggota Dewan Hisbah tentang masalah ini: “Menggugat Wakaf karena tidak Sesuai Akadakhirnya Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam menetapkan hukum (beristinbath) sebagai berikut:

  1. Hukum menggugat penggunaan dan pengelolaan Wakaf Mutlaq adalah Haram.
  2. Hukum menggugat penggunaan dan pengelolaan Wakaf Muqayyad yang dianggap tidak sesuai dengan akadnya adalah Mubah.

Demikian keputusan sidang Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut, yang dapat dilaporkan dari arena sidang pada pukul 11.32 WIB.

Pada saat berita ini disusun, sidang tengah jeda untuk shalat zuhur dan makan. Rencananya, sidang akan dilanjutkan kembali pukul 13.00 WIB, dengan tema pembahasan: Mengulangi Ihrom dari Tan’im karena Ragu Sah dan Tidaknya Umroh.”

Hasil liputan keputusan sidang Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut akan ditayangkan pada edisi selanjutnya. Tetaplah di sigabah.com.

 

By Tim Sigabah Publika

Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}