Preloader logo

FATWA DEWAN HISBAH (5): WARIS BAGI ORANG TUA BIOLOGIS ANAK ZINA

Tema terakhir sidang Dewan Hisbah PP Persis di hari perdana, Rabu 26 Agustus 2015, mengandung dua pokok persoalan: (1) Waris bagi Orang Tua Biologis Anak Zina, (2) Waris Bagi yang Membunuh tidak Sengaja.

Dalam gelar perkara terakhir, yang sudah memasuki pukul 21.30 itu, menghadirkan KH.Rahmat Najieb, sebagai pemakalah, dengan moderator KH. Wawan Shofwan Shalehuddin.

  1. Rahmat Najieb, memaparkan pokok-pokok pikirannya sebagai berikut:

Pertama, Pengertian waris

Menurut KH.Rahmat, waris atau warisan adalah peninggalan seseorang setelah matinya berupa harta atau hak. Selanjutnya, KH.Rahmat juga menjelaskan tentang Rukun waris, sebab seseorang mendapat warisan, dan yang menghalangi seseorang mendapat waris.

Menurut beliau, rukun waris ada tiga, meliputi: (1) pewaris (orang yang meninggal), (3) ahli waris (orang-orang yang berhak menerima warisan), dan (3) tirkah atau warisan. Begitu pula sebab seseorang mendapat warisan: (1) karena menikah yaitu suami atau istri, (2) karena wala artinya hubungan antara hamba sahaya dan pemiliknya (tuannya), dan (3) karena nasab. Sementara tiga factor yang menghalangi seseorang mendapat waris, meliputi (1) putus hubungan antara hamba sahaya dan majikan karena sudah merdeka, (2) pembunuhan, dan (3) berbeda agama.

Kedua, Orang-orang yang Berhak Menerima Waris

Dengan merujuk firman Allah Swt. dalam surat Annisa [4]: 7 dan 11, KH.Rahmat menyatakan, seseorang (laki-laki atau perempuan) berhak menerima waris dari  ayah-ibu dan kerabatnya.

Menurut KH.Rahmat, dalam ilmu Faraidl, laki-laki yang berhak mendapat warisan ada 15 orang, yang paling dekat hubungannya dengan mayit, seperti anak dan ayah akan menghalangi hak yang lainnya kecuali suami. Di sini, KH. Rahmat menyebutkan satu demi satu laki-laki yang berhak mendapat warisan itu.

Selanjutnya KH. Rahmat menyebutkan kalangan perempuan yang berhak mendapat warisan dari ayah dan ibunya. Menurutnya, hak perempuan sama dengan anak laki-laki tetapi bagiannya yang berbeda. Bagi anak laki-laki mendapat dua bagian anak perempuan.

Menurut KH.Rahmat, perempuan yang berhak mendapat warisan ada 10 orang. Lalu beliau menyebutkan satu demi satu perempuan yang berhak mendapat warisan itu.

Selain anak laki-laki dan perempuan, menurut KH.Rahmat, ibu-bapak mayit mendapat waris berdasar firman Allah Swt. dalam surat Annisa [4]: 11.

Sementara terhadap hadis riwayat at-Tirmidzi, yang menyatakan bahwa anak hasil zina tidak saling mewarisi dengan bapaknya, KH.Rahmat berpandangan bahwa hadis itu dha’if tidak dapat dijadikan hujjah, dengan sebab kadhaifan rawi bernama Ibnu Lahi’ah (dalam riwayat at-Tirmidzi), dengan merujuk kepada penilaian ulama Ahli kritik rawi (al-Jarh wat ta’dil),  Ibnu Ma’in.

Begitu pula sikap beliau terhadap hadis riwayat Ibnu Majah dengan kandungan yang sama seperti riwayat at-Tirmidzi di atas. Meski hadis ini dinilai hasan oleh Syekh al-Albani, namun menurut beliau hadis ini dhaif  karena rawi bernama Yahya bin Yaman (ikhtilath) dan al-Mutsanna bin as-Shabah (matrukul hadits).

Selanjutnya, KH.Rahmat menetapkan, bahwa pengertian ayah adalah setiap lelaki yang menyebabkan seseorang  lahir, apakah ia menikahi ibunya atau tidak. Demikian juga pengertian ibu adalah perempuan yang melahirkan seseorang. Dengan demikian, ayah-ibu mendapat warisan dari anaknya, walaupun mereka tidak menikah.

Demikian pandangan KH.Rahmat terhadap persoalan (1): Waris bagi Orang Tua Biologis Anak Zina

23

Sementara terhadap persoalan (2): Waris Bagi yang Membunuh tidak Sengaja, KH.Rahmat menyampaikan pokok- pokok pikiran sebagai berikut:

Membunuh atau menghilangkan nyawa seseorang dalam Islam ada beberapa alasan dan hokum. Dengan merujuk firman Allah dalam Al-Quran surat An-Nisa : 92-93, KH. Rahmat menyatakan bahwa tidak layak disebut seorang mukmin, tidak mungkin seorang mukmin mempunyai sifat demikian jika ia membunuh mukmin lain kecuali tidak disengaja atau salah sasaran. Menurut beliau, sebab membunuh itu ada tiga macam; (1) karena disengaja (‘amadan), (2) karena tersalah (khata’an), dan (3) karena menyerupai disengaja (syibhal ‘amad).

Lebih lanjut KH.Rahmat, menyatakan, jika terjadi pembunuhan atau menghilangkan nyawa korban, sedangkan ia adalah pewaris, maka perlu penyidikan dan penyelidikan serta pembuktian bahwa pembunuhan terjadi karena khatha-an atau syibhal ‘amad. Jika pelaku mendapatkan waris karena menghilangkan nyawa korban khatha’an atau syibhal’amad, maka akan membuka peluang untuk melakukan kejahatan atau pembunuhan demi mendapatkan warisan.

Setelah memperhatikan hadis-hadis yang menyatakan: “Yang membunuh  tidak menerima waris.”, seperti diriwayatkan at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, KH. Rahmat berpendapat bahwa jika yang menjadi korban pembunuhan itu adalah pewaris maka pelakunya terhalang untuk menjadi ahli waris,  baik ia menghilangkan nyawa karena  khataan maupun syibhal ‘amad. Keputusan hukum ini berdasarkan pertimbangan syad ad-dzaari’ah (menutup jalan kemaksiatan).

Setelah KH. Rahmat menyampaikan pokok-pokok pikirannya, sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya KH. Wawan Shofwan Shalehuddin, sebagai moderator pembahasan tema terakhir ini, memberikan kesempatan kepada para anggota Dewan Hisbah untuk menyampaikan pandangannya.

Setelah dilakukan diskusi dan penilaian dari para anggota Dewan Hisbah tentang dua pokok persoalan: (1) Waris bagi Orang Tua Biologis Anak Zina, (2) Waris Bagi yang Membunuh tidak Sengaja, akhirnya Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam menetapkan hukum (beristinbath) sebagai berikut:

  1. Tentang Waris bagi Orang Tua Biologis Anak Zina

Orang tua biologis dari anak zina mendapatkan hak waris dari anaknya jika dipastikan anak tersebut adalah anaknya.

  1. Tentang Waris Bagi yang Membunuh tidak Sengaja

Pembunuhan yang bukan karena sengaja atau karena kesalahan tidak menghalangi hak waris.

Demikian keputusan sidang Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut, yang dapat dilaporkan dari arena sidang pada pukul 22.27 WIB.

Hasil liputan keputusan sidang Dewan Hisbah di hari kedua, Kamis, 27 Agustus 2015, akan ditayangkan pada beberapa edisi selanjutnya.

 

By Tim Sigabah Publika

Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}