Preloader logo

FATWA DEWAN HISBAH (10): BOLEHKAH ZAKAT DIINVESTASIKAN?

Setelah selesai gelar perkara keempat (tema ke-9),  sidang Dewan Hisbah di hari kedua, Kamis 27 Agustus 2015, dilanjutkan kembali dengan tema pembahasan (ke-10): Hukum Zakat Diinvestasikan.” Kali ini menghadirkan KH.Dr.Jeje Zaenuddin, sebagai pemakalah, dengan moderator KH.Salam Russyad, pengganti KH.Lutfi Abdullah Ismail, yang berhalangan hadir.

Sebelum memaparkan pokok-pokok pikirannya, KH.Jeje, menyampaikan latar belakang masalah sebagai berikut:

“Perkembangan pemikiran Islam telah membawa nuansa baru dalam menilai dan memahami ajaran dan hukum Islam. Hukum-hukum ibadah yang semula dipahami dari aspek ketaatan dan ritual dikembangkan ke ranah sosial. Dari  pembahasan tentang “apa yang diperintahkan agama” berkembang menjadi “apa tujuan dan manfaat” dari perintah agama itu secara spiritual, material, sosial, individu dan masyarakat. Maka lahirkan pengkajian hukum ibadah dari aspek sosial. Kajian shalat dari tinjauan manajemen, umpamanya. Demikian pula kajian zakat dari tinjauan pemberdayaan ekonomi umat. Salah satu konsekuensi logis dari adanya perkembangan pemikiran dan pelaksanaan syariat Islam adalah munculnya kasus-kasus baru yang menuntut ketentuan hokum, seperti pelaksanaan zakat yang disertai dengan investasi, atau tegasnya menginvestasikan harta benda zakat, baik sebelum ataupun sesudah dikeluarkan oleh muzakkinya.  Masalah ini termasuk masalah baru (al-qadhaya al-mustajaddah) yang muncul dari upaya menjadikan zakat selain sebagai penunaian ibadah mahdhah juga sebagai sarana pemberdayaan ekonomi umat. Meskipun telah banyak mendapat perhatian dan respon dari para ulama Islam,  namun tidak ada salahnya demi memahami lebih mendalam dan mengetahui hukumnya secara tepat, jika masalah  ini dibahas di forum Sidang Dewan Hisbah.”

Selanjutnya, KH.Jeje memaparkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

 

Pertama, Makna, Hakikat, dan Manfaat Zakat

Dengan merujuk kepada penjelasan Ibnu Manzhur dalam Lisaan al-‘Arab, menurut KH.Jeje, zakat (  زكاة) bermakna tumbuh, berkembang, dan bersih. Sementara secara istilah syariat, mengacu kepada definisi madzhab Hanafiyah yang dikutip oleh Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islami Wa ‘Adillatuh, menurut KH.Jeje, “Zakat adalah memberikan sejumlah harta tertentu dari harta yang ditentukan dan kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh pembuat Syariat.”

Selanjutnya KH.Jeje menyatakan bahwa zakat merupakan ibadah pokok dalam Islam sehingga ia masuk dalam rukun Islam yang lima. Syariat Islam telah menetapkan jenis dan macam harta yang wajib dizakati, meliputi perhiasan emas dan perak; hasil peternakan yang mencakup onta, sapi, domba, dan sejenisnya;  hasil pertanian yang mencakup korma, gandum, anggur, padi, jagung, dan sejenisnya; perniagaan;  barang temuan; dan barang tambang.

Dalam pelaksanaan zakat, menurut KH.Jeje, terdapat beberapa aspek yang terkait yaitu orang yang wajib berzakat (muzaki), orang yang berhak menerima zakat (mustahiq), harta benda yang dizakati (amwaluz zakat), waktu pengeluaran zakat (auqat adâu zakat), dan petugas zakat (‘amilin).

Sementara terkait hakikat zakat, KH.Jeje menegaskan bahwa zakat adalah perwujudan ketaatan dan ibadah seorang hamba yang beriman kepada Allah melalui harta kekayaannya. Karena manusia diperintahkan beribadah itu melalui jiwa raga dan harta benda. Zakat juga bukan sekedar ibadah mahdhah di bidang harta, tetapi mempunyai hikmah  yang besar bagi kehidupan sosial umat Islam, dengan mengutip penjelasan Prof.Dr.Wahbah, KH.Jeje menyebutkan beberapa contoh hikmah zakat.

335

Kedua, Pengertian dan Macam Cara Investasi Harta Zakat

Dengan merujuk kepada penjelasan Dr. Mohammed Usman Shabir, dalam artikelnya berjudul istitsmâr Amwâl az-Zakâh (Investment funds Zakat), KH.Jeje mendefinisikan investasi harta zakat sebagai usaha mengembangkan harta zakat karena suatu alasan dan suatu cara dari cara-cara pengembangan yang disyariatkan untuk merealisasikan kemanfaatan (bagi) para mustahik.

Dengan demikian, menurut KH.Jeje, investasi harta zakat adalah tindakan pengembangan harta zakat dengan berbagai cara usaha yang dapat menambah jumlah harta zakat secara nominal maupun menambah nilai manfaatnya. Sehingga lebih besar kemaslahatannya bagi para mustahik. Sementara kita maklum bahwa harta zakat itu meliputi uang, emas, perak, hasil pertanian dan hasil peternakan, maka investasi zakat dengan sendirinya meliputi penggunaaan uang, perhiasan, hasil pertanian, dan peternakan untuk kepentingan permodalan usaha.

Investasi atau istitsmariyah, masih menurut KH.Jeje,  sebagai bentuk bisnis mencakup bisnis dengan cara-cara yang halal dan bisa juga bisnis yang mengandung unsur haram  seperti mengandung cara cara riba ataupun judi. Sebab itu, pengertian investasi harta zakat mesti dibatasi ruang lingkupnya kepada investasi pada usaha yang halal. Sedang ditinjau dari sisi pelaku atau pihak yang menjalankan investasi atau pelaku usaha dari harta zakat itu bisa dilakukan oleh muzakinya, amilinnya, ataupun para  mustahik zakat.

Setelah menyampaikan definisi investasi harta zakat dan penjelasan tentang beragam caranya, KH.Jeje menghayati adanya problem hukum jika investasi harta zakat itu dilakukan oleh muzaki atau amylin. Hal itu berbeda dengan investasi yang dilakukan oleh mustahiknya. Sebelum KH.Jeje menyampaikan pendapatnya, beliau memetakan terlebih dahulu kontroversi para ulama, baik perorangan maupun yang bersifat kelembagaan, tentang hukum investasi harta zakat itu.

Menurut KH.Jeje, dalam masalah ini para ulama terbagi pada dua madzhab: (1) Madzhab mengharamkan, dan (2) madzhab membolehkan. Selanjutnya, KH.Jeje mengajukan nama sejumlah ulama dan lembaga yang berbeda kubu disertai argumentasi masing-masing. Kemudian untuk menetapkan madzhab arjah (lebih unggul), KH.Jeje dengan pendekatan metode istishlaah (prinsip kemaslahatan), melakukan tarjih al-qaulayn,  yaitu mengkaji  dan meneliti dalil dan metode yang dipakai kedua pihak untuk mendukung pendapat yang dinilai lebih kuat.

KH.Jeje, setelah menimbang bahwa:

  • Masalah investasi zakat pada dasarnya bukan masalah pembahasan hukum pokok dalam zakat, tetapi adalah tentang kebijakan pendistribusian dan pengembangan manfaatnya.
  • Syariat zakat sangatlah erat kaitannya dengan cita-cita dan tujuan sosial Islam, yaitu membangun kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan ekomomi umat.

Selanjutnya, KH.Jeje bersikap bahwa “pendapat yang membolehkan investasi harta zakat oleh amil” dipandang lebih tepat karena lebih sejalan dengan hikmah pensyariatan zakat itu sendiri.

Untuk memperkuat dukungannya terhadap “madzhab membolehkan”, KH.Jeje membantah argumentasi “madzhab mengharamkan” sebagai berikut:

Pertama. Anggapan bahwa menginvestasikan harta zakat adalah sesuatu yang bid’ah karena tidak pernah dipraktekan Rasulullah, sesuatu yang berlebihan, sebab tidak ada hukum zakat yang berkaitan dengan ta’abbudinya yang dirubah atau diada-adakan. Karena yang dilakukan hanyalah inovasi pendistribusian dan pengembangan manfaat dari harta zakat dengan tetap menjaga hukum-hukum ta’abbudi yang pokok.

Kedua. Kekhawatiran bahwa investasi dapat menghilangkan spirit zakat sebagai ibadah menjadi spirit bisnis. Hal ini tidaklah beralasan sebab tujuan investasi itu bukan untuk mencari keuntungan para pengelola semata, tetapi lebih dimaksudkan untuk menumbuhkan harta zakat sehingga lebih besar jumlahnya dan lebih luas manfaatnya.

Ketiga. Kekhawatiran bahwa investasi dapat mengakibatkan ditangguhkannya pendistribusian zakat dari yang berhak. Maka dijawab bahwa mengakhirkan zakat dilarang jika tanpa suatu alasan atau karena sengaja menahan harta, mengulur ulur hak mustahik. Mustahik zakat terdiri dari delapan kelompok, maka investasi zakat tidak mesti menghabiskan seluruh dari harta zakat, tetapi bisa diambil dari bagian yang bisa ditangguhkan penggunaannya seperti untuk bagian sabilillah dan amilin.

Keempat. Kewenangan amilin adalah kewenangan dari imam, maka ia menetapkan kebijakan berdasar kemaslahatan. Sesuai dengan kaidah,

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Kebijakan imam terhadap rakyat didasarkan atas kemaslahatan.”

Kelima.  Berdasarkan hal-hal di atas, kebolehan investasi harta zakat haruslah dilakukan kepada usaha yang sudah dipastikan keuntungannya, bukan kepada hal-hal yang masih spekulatif.  Apabila terjadi kerugian maka harus menjadi tanggungjawab pelaku usaha dan amilin karena muzaki dan mustahik adalah dua pihak yang terlepas dari tanggungjawab itu. Sebaliknya, semua pertambahan dari harta zakat harus menjadi bagian dari zakat yang wajib didistribusikan kepada mustahik zakat.

Setelah menyampaikan berbagai pokok pikiran dan tanggapan, sebagaimana tersebut di atas, KH.Jeje menutup makalahnya, dengan kesimpulan sebagai berikut:

“Investasi harta zakat diperbolehkan ketika harta zakat telah berada pada tanggung jawab amilin dengan persyaratan dilakukan pada usaha yang halal, dapat menambah jumlah serta manfaat dari harta zakat tersebut, serta tidak berdampak merugikan dan terzaliminya hak-hak mustahik.”

Selanjutnya, untuk mempertajam pokok-pokok pikiran KH.Jeje, KH.Salam Russyad, sebagai moderator tema kelima (atau ke-10) pada sidang di hari kedua  ini, memberikan kesempatan kepada para anggota Dewan Hisbah untuk menyampaikan pandangannya.

Terungkap dari diskusi dan penilaian para anggota Dewan Hisbah tentang masalah ini, bahwa mayoritas para anggota Dewan Hisbah tidak sependapat dengan pandangan KH.Jeje. Argumen keberatan, yang dapat dilaporkan di sini antara lain, bahwa Al-Qur’an (QS. At-Taubah:60) membedakan kategori kemaslahatan mustahik dengan symbol huruf berbeda yang menyertai penyebutannya. Symbol yang dimaksud adalah huruf lam (Li) dan Fii. Symbol Li mengisyaratkan bahwa hak zakat mereka harus segera ditunaikan. Sementara symbol Fii mengisyaratkan bahwa hak zakat mereka boleh ditangguhkan. Syimbol Li digunakan untuk mustahik: al-fuqara, al-masakin, al-’amilin, dan al-muallaf qulubuhum (empat ashnaf pertama). Sedangkan symbol Fii untuk mustahik: ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil (empat ashnaf kedua).

Setelah dilakukan diskusi yang cukup alot, hingga memakan waktu tiga jam lebih (dimulai pukul 14.45 hingga pukul 17.22 WIB), akhirnya Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam menetapkan hukum (beristinbath) sebagai berikut:

  1. Menginvestasikan harta zakat dari bagian mustahik lembaga hukumnya mubah.
  2. Menginvestasikan harta zakat dari bagian mustahik perorangan hukumnya haram.

Demikian keputusan sidang Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut, yang dapat dilaporkan dari arena sidang pada pukul 17.22 WIB.

Pada saat berita ini disusun, tengah digelar perkara terakhir (tema ke-11) tentang: Baca Al-Quran dengan Langgam selain Arab”, dengan pemakalah Prof.Dr.M.Abdurrahman, yang dipandu oleh KH. Uus M.Ruhiat, sebagai moderator. Hasil liputan keputusan sidang Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut akan ditayangkan pada edisi selanjutnya. Tetaplah di sigabah.com.

 

By Tim Sigabah Publika

Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}