Preloader logo

CATATAN HITAM DR.M.TIJANI (Bagian ke-7)

Kritikan Umum atas Tijani dan Konsepnya (6)

Ketujuh, Penyelisihan Tijani atas konsepnya sendiri.

Tijani tidak hanya menyelisihi sistematika penulisan para ulama saja, bahkan iapun menyelisihi konsep yang telah ia tempuh sendiri. Berikut ini akan saya jelaskan beberapa kaidah dan landasan yang telah dijanjikan oleh Tijani untuk dilalui dalam buku-buku dan tulisannya, kemudian akan saya jelaskan juga penyelisihannya atas konsep itu sendiri, disertai dengan bukti-bukti dari perkataannya:

1Pertama, ia telah berjanji untuk tidak dipengaruhi oleh emosi dan perasaan, fanatisme dan akan berpegang teguh dengan sikap netral (inshaf) dan adil.

Di dalam bukunya Akhirnya Kutemukan Kebenaran (Tsumma Ihtadaetu), ia berkata: “Aku berjanji kepada Tuhanku untuk menghindari segala jenis fanatisme dan sikap emosional agar dapat benar-benar objektif dalam menilai pendapat kedua madzhab ini. Kemudian mengambil yang terbaik darinya.”

Di dalam buku yang sama, iapun berkata: “Aku berjanji kepada diriku ketika mulai mengkaji masalah yang panjang dan rumit ini untuk semata-mata berpegang pada hadis yang shahih yang disepakati oleh Sunnah dan Syi’ah. Aku akan mengabaikan setiap hadis yang hanya dipegang oleh satu madzhab saja dan ditolak oleh yang lain. Dengan cara yang adil seperti ini, aku akan menjauhkan diriku dari segala jenis pengaruh emosional, sikap fanatis (ta’ashub) madzhab atau perselisihan kaum dan bangsa… [1]

Di dalam buku Fas’aluu Ahladz Dzikr, ia berkata: “Maka seyogyanya bagi seorang penulis untuk bertaqwa kepada Allah di dalam tulisannya, dan ia tidak dimotori oleh perasaan sehingga ia menyimpang dari kebenaran dan mengikuti emosional, maka sesatlah dari jalan Allah. Padahal ia hanyalah diwajibkan untuk tunduk kepada kebenaran, sekalipun kebenaran tersebut ada pada pihak lain, ia harus membebaskan dirinya dari sifat emosiaonal dan egois.[2]

Inilah apa yang dikatakan Tijani dalam konsep penuilsannya, lalu apakah ia konsisten dengan konsepnya tersebut ?

Berikut ini jawaban dari pertanyaan tersebut:

Dalam pujiannya terhadap Syi’ah, ia berkata: “Bahkan cara mereka beribadah, sembahyang, berdo’a, akhlak dan sikap hormat mereka kepada para ulama sangat mengagumkanku, sampai aku sendiri sempat berangan-angan untuk menjadi seperti mereka.”[3]

Iapun berkata: “Kemudian kubaca kitab al-Muroja’at (Dialog SunnahSyi’ah) oleh Sayed Syarafuddin al-Musawi. Setelah beberapa lembar kubaca, isinya sangat memikat sehingga tidak kutinggalkan kecuali benar-benar mendesak. Kadang-kadang kitab itu kubawa ke Sekolah.[4]

Iapun berkata: “Aku tidak tahu, bagaimana aku meyakinkan diriku, atau orang lain, dengan pemikiran-pemikiran2 Ahlus Sunnah yang kukira hanya berlandaskan perkataan-perkataan para penguasa Bani Umayyah.[5]

Iapun berkata: “Oleh sebab itu secara pribadi aku berkeyakinan bahwa sebagian sahabat menisbatkan larangan dan pengharaman untuk mut’ah kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam agar dapat membebaskan sikap Umar bin Khattab dan membenarkan pendapatnya.[6]

Iapun berkata: “Aku berandai bahwa Umar bin Khattablah yang mempengaruhi sahabat-sahabat lain untuk mengabaikan perintah Nabi.[7]

Contoh-contoh tersebut di atas membuktikan bahwa Tijani telah mengikuti emosi dalam menentukan hukum-hukumnya.

Pembaca yang budiman, anda dapat memperhatikan ungkapan-ungkapannya tersebut di atas ketika ia akan menentukan suatu hukum, seperti perkataannya: “sangat mengagumkanku”, “Berangan-angan”, “kukira”, “Aku berandai”, “secara pribadi aku berkeyakinan”, dan lain sebagainya. Anda dapat mengetahui sejauhmana konsistensinya dengan apa yang telah ia janjikan untuk tidak dipengaruhi oleh perasaan dan emosional.

Adapun janjinya untuk menjauhkan diri dari ta’ashub (fanatik) dan akan senantiasa untuk inshaf dan netral, hal itu didustakan oleh kefanatikannya yang sangat tinggi kepada Syi’ah dan Aqidahnya.

Ketika berkomentar tentang Khilafah menurut Ahlus Sunnah, ia berpendapat: “Adapun Khilafah menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, maka harus dilakukan dengan pemilihan dan Syura’. Dan dengan demikian mereka telah membuka sebuah pintu yang tidak mungkin ditutup dari siapapun dari ummat ini, mereka telah membuka peluang bagi setiap orang yang tamak, sehingga kekhilafahan tersebut berpindah dari bangsa Quraisy ke tangan para hamba dan budak, ke bangsa persia dan mamalik, serta kepada bangsa Turki dan Mongol.[8]

Adapun ketika ia berbicara tentang aqidah Syi’ah dalam masalah khilafah, ia berkata: “Aduhai betapa agungnya aqidah Syi’ah yang menyatakan bahwa Khilafah adalah salah satu landasan pokok agama ini, dan betapa agung perkataan mereka yang menyatakan bahwa jabatan ini sesuai dengan pilihan Allah Azza wa Jalla. Maka dengan demikian, itulah perkataan dan pendapat yang benar, yang dapat diterima oleh akal dan perasaan serta didukung oleh nash-nash AlQur’an dan Sunnah, walau hal ini tidak diinginkan oleh orang-orang yang berkuasa, raja dan sulthan, dan inilah yang mengakibatkan ketenangan dan damai bagi rakyat.[9]

Dan disela-sela pembicaraannya tentang perubahan Al-Qur’an menurut Syi’ah: “Dan Apa yang dinisbatkan kepada Syi’ah dari perkataan yang menyatakan tentang perubahan Al-Qur’an, itu hanyalah penghinaan dan tuduhan belaka, karena hal itu tidak didapatkan di dalam aqidah Syi’ah. Dan apabila kita membaca tentang aqidah syi’ah dalam masalah Al-Qur’anul Karim, niscaya akan kita dapatkan ijma’ mereka akan pensucian mereka bagi Al-Qur’an dari segala bentuk perubahan. (Sampai ia berkata): …Sesungguhnya tuduhan ini (Pengurangan atau penambahan Al-Qur’an) justru lebih tepat untuk ditujukan kepada Ahlus Sunnah daripada Syi’ah, dan itulah salah satu sebab yang mendorongku untuk melakukan introspeksi pada setiap aqidahku, karena setiap kali Aku berusaha untuk mengkritik Syi’ah dalam satu perkara dan mengingkari mereka, kecuali mereka mampu membuktikan keterlepasan mereka dan lalu mereka mengarahkannya kepadaku, maka kemudian kuketahui bahwa mereka berkata jujur, dan hari-haripun terus berlalu, dan disela-sela penelitian itu akhirnya aku merasa puas, Alhamdulillah.[10]

Ketika memuji aqidah Syi’ah dan menjelaskan kepuasannya kepada aqidah tersebut, yang diiringi dengan pernyataannya tentang kemurtadan para sahabat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam, ia berkata: “Dan banyak lagi buku-buku lain yang kubaca sehingga aku merasa betul-betul puas bahwa Syi’ah Imamiyyah ini adalah yang benar. Dari situ kemudian aku menjadi pengikut madzhab Syi’ah, dan dengan berkat Allah kuikuti bahtera Ahlul Bait serta kupegang erat-erat tali wala’ mereka, karena kudapati Alhamdulillah, merekalah sebagai Alternatif dari sebagian sahabat yang terbukti bagiku telah berbalik (murtad), dan tiada yang selamat melainkan kelompok kecil saja. Kini aku menggantikan mereka dengan Ahlul Bait Nabi yang telah Allah bersihkan mereka dari segala dosa dan Dia sucikan mereka dengan sesuci-sucinya,…[11]

Contoh-contoh perkataan Tijani tersebut di atas menunjukkan ketidak-adilan dan terlampau jauhannya dari sikap inshaf dalam vonis dan berkesimpulan, akan tetapi justru yang tampak jelas adalah kezaliman dan kedustaan perkataannya. Dan hal itu dapat kita lihat dari pujian-pujian dan pembenarannya atas sebagian aqidah Syi’ah, dan kritiknya terhadap kebenaran yang dimiliki oleh aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, seperti perkataan tantang khilafah menurut kedua belah pihak, dan demikian pula dengan pengingkarannya dari penyimpangan-penyimpangan aqidah Syi’ah yang tidak senonoh. Ia mengingkarinya bahwa itu semua bukan dari ajaran Syi’ah, sebagaimana ia telah berlepas diri dari keyakinan perubahan Al-Qur’an yang sangat terkenal di dalam buku mereka dan telah disepakati oleh ulama-ulama terdahulu mereka, kemudian setelah itu ia menisbatkan dan menuduhkan aqidah tersebut kepada Ahlus Sunnah.

Kemudian penjelasannya tentang kepuasannya dengan aqidah Syi’ah dan keterbebasannya dari aqidah Ahlus Sunnah, serta pencaciannya terhadap para Sahabat dengan menuduh mereka sebagai orang-orang yang murtad, dengan dakwaan bahwa itu semua ia lakukan setelah melakukan penelitian dan pengkajian. Itu semua ia lakukan untuk mengelabui orang-orang bodoh dan lalai. Dan ini semua tentu menunjukkan ketidakadilan dan keinshafannya.

Kedua, dakwaannya bahwa apa yang ada dalam buku-bukunya tidak keluar dari kebenaran, dan ia tidak menyebutkan berbagai permasalahan kecuali yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah dan Syi’ah.

Ia berkata: “Maka bukuku yang pertama dan kedua mengandung judul-judul dari Al-Qur’anul Karim, dan ia adalah sebenar-benar dan sebaik-baik perkataan, dan setiap yang telah kukumpulkan dalam kedua buku tersebut, kalaupun bukan kebenaran, maka sesuatu yang terdekat kepadanya, karena hal itulah yang telah disepakati oleh kaum muslimin, baik dari kalangan Sunnah ataupun dari kalangan Syi’ah, dan apa yang telah disepakati oleh kedua kelompok, maka itulah yang shahih.[12]

3Dan iapun berkata: “Akan tetapi, apa yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah dan Syi’ah itulah yang shahih, karena hal itu telah diakui kebenarannya oleh kedua belah pihak, dan kami mengharuskan mereka sebagaimana mereka telah mengharuskan kepada diri mereka sendiri, dan apa yang mereka perselisihkan di dalamnya, sekalipun shahih menurut mereka, maka tidak diharuskan bagi pihak kedua untuk menerimanya, sebagaimana tidak diharuskan bagi seorang peneliti yang berpihak untuk menerimanya dan berargumen dengannya.[13]

Maka dakwaannya bahwa apa yang ada di dalam buku-bukunya tidak lain hanyalah kebenaran atau sesuatu yang terdekat dengan kebenaran, hanyalah merupakan dakwaan bohong yang tidak berdalil. Dan tidak ada seorang pelaku bid’ah pun kecuali mendakwakan hal ini. Sedangkan hakikat yang sesungguhnya adalah bahwa buku-bukunya sangat jauh dari kebenaran, dan cukuplah sebagai buktinya adalah, bahwa ia tidak mengarangnya kecuali untuk menyerukan kepada aqidah Syi’ah, satu kelompok yang penuh bergelimpangan dengan kekufuran dan kesesatan, dan kelompok terjauh dari hakekat-hakekat keimanan…inilah penjelasan global, adapun secara rinci akan dibahas dalam bantahan kepadanya Insya Allah.

Adapun pengakuannya bahwa ia tidak menyebutkan berbagai permasalahan kecuali sesuatu yang telah disepakti oleh Sunnah dan Syi’ah dan ia mengharuskan mereka dengan itu. Pengakuan ini dusta semata, inilah di antara contoh-contoh perkataannya yang sangat bertentangan dengan pengakuan yang ia serukan, ia berkata: “Dan yang telah dikenal oleh para ulama terdahulu, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah calon Khalifah yang dikukuhkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam.[14]

Dan berikut ini kandungan beberapa jawaban yang ia dakwakan sebagai jawaban dari beberapa pertanyaan yang diajukan kepadanya:

Kenapa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam tidak menunjuk khalifah setelahnya ? ia menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Alihi Wa sallam telah menunjuknya setelah haji Wada’, yaitu Ali bin Abi Thalib, dan hal itu disaksikan oleh para
Sahabatnya yang haji bersamanya, dan beliaupun tahu bahwa umatnya akan menipunya dan akan murtad.[15]

Dan jawaban atas pertanyaan: Apakah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam mengetahui waktu kematiannya ? ia menjawab: “Tidak diragukan lagi, beliau mengetahui terlebih dahulu waktu wafatnya, di waktu yang telah diketahui, dan hal itu telah beliau ketahui sebelum keluar untuk melaksanakan haji Wada’, dan oleh sebab itulah dinamakan dengan haji Wada’, dan dengan itulah banyak para Sahabat yang mengetahui dekat ajalnya.[16]

Dan jawabannya atas pertanyaan: Apakah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam telah menunjuk Abu Bakar untuk menjadi Imam Shalat ? ia menjawab: “Disela-sela berbagai riwayat yang kontradiktif, kami fahami bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam tidak pernah menunjuk Abu Bakar sebagai Imam Shalat, kecuali jikalau kita meyakini apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab bahwa beliau dalam keadaan mengigau, dan barang siapa yang menyakini itu maka sungguh ia telah kafir.[17]

Dan iapun berkata ketika menjawab pertanyaan: Kenapa mereka memerangi orang yang tidak mau zakat, padahal itu telah diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam? Ia menjawab: “Karena sebagian Sahabat yang menghadiri pembai’atan Imam Ali di Ghadir Khum ketika mereka pulang dari haji Wada’, dan sahabat Nabi yang enggan untuk membayar zakat kepada Abu Bakar…dan tidak diragukan lagi bahwa sebagian orang-orang pilihan telah mendapatkan beberapa informasi bahwa Fatimah telah bertentangan dan marah kepada mereka, dan Ali tidak menerima pembai’atan mereka, oleh karena itulah mereka enggan untuk membayar zakat kepada Abu Bakar sehingga permasalahannya menjadi jelas.[18]

Contoh-contoh seperti ini banyak kita dapatkan di dalam bukunya—saya sebutkan dengan singkat—apa yang tersebut di atas adalah bukti kuat atas kedustaan dari apa yang telah ia serukan. Dan apa yang ia tulis dalam bukunya pada hakikatnya tidak keluar dari apa yang dimiliki oleh Syi’ah dan hanya merupakan bentuk pengulangan dari syubhat dan perkataan-perkataan mereka. Dan jika tidak, maka apakah ada dalam aqidah Ahlus Sunnah dari jawaban-jawaban yang telah ia sebutkan tadi? atau bahkan apakah ada orang yang mengatakan seperti itu dari Ahlus Sunnah !

Ketiga, Anggapannya bahwa ia tidak berdalil dengan hadis-hadis Nabi kecuali dengan hadis shahih menurut Ahlus Sunnah.

Ia berkata: “Ketika Aku berjanji kepada diriku sendiri, bahwa Aku tidak akan berdalil kecuali dengan hadis yang digunakan oleh Syi’ah dari hadis-hadis shahih menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Aku hanya mencukupkan dengan itu saja.[19]

Iapun berkata; “Dan Aku dengan peranku, sebagaimana biasanya, Aku senantiasa perpegang teguh dalam seluruh pembahasan-pembahasan buku, tidak akan berdalil kecuali dengan sesuatu yang kokoh dan shahih menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.[20]

Iapun berkata pula: “Aku berjanji pada diriku ketika mula mengkaji masalah yang panjang dan rumit ini untuk semata-mata berpegang kepada hadis yang shahih yang disepakati oleh Sunnah dan Syi’ah.[21]

Pengakuan inipun dusta belaka, dan hal ini disaksikan oleh buku-bukunya yang dipenuhi oleh hadis-hadis munkar dan palsu sebagaimana telah saya sebutkan beberapa contohnya di pembahasan yang telah berlalu.

Setelah kritikan umum terhadap Tijani dan konsepnya dalam buku dan tulisan-tulisannya, sehingga disela-sela pembahasan ini tampaklah kebodohannya, ketundukannya kepada emosional dan prasangka, serta terlampau jauhnya dari penelitian ilmiah yang berlandaskan atas kejujuran dalam mengutip segala sesuatu dari sumbernya.

Adapun bantahan secara terperinci terhadap beberapa aspek yang terkandung dalam keempat buku karya Dr.M.Tijani, akan disampaikan pada edisi berikutnya.

 

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Sumber:

  • Kasyf al-Jaani Muhammad at-Tijani fii Kutubih al-Arba’ah, karya Syekh Usman al-Khamis.
  • Buku Catatan Hitam Dr. Muhammad al-Tijani, penerjemah Ustadz Zezen Zainal Mursalin, Lc.

 

Lampiran Teks Asli Syekh Usman al-Khamis

 4

5

6

7

8

9

10

11

 

[1] Lihat, Tsumma Ihtadaetu, hlm. 99.

[2] Lihat, Fas’aluu Ahladz Dzikr, hlm. 36.

[3] Lihat, Tsumma Ihtadaetu, hlm. 47.

[4] Ibid., hlm. 97.

[5] Lihat, Li Akuuna Ma’ash Shaadiqiin, hlm. 150.

[6] Ibid, hlm. 195.

[7] Lihat, Tsumma Ihtadaetu, hlm. 109.

[8] Lihat, Li Akuuna Ma’ash Shaadiqiin, hlm. 112.

[9] Ibid, hlm. 114.

[10] Ibid, hlm. 200-202.

[11] Lihat, Tsumma Ihtadaetu, hlm. 179 – 180.

[12] Lihat, Li Akuuna Ma’ash Shaadiqiin, hlm. 7 – 8.

[13] Lihat, Fas’aluu Ahladz Dzikr, hlm. 35.

[14] Ibid, hlm. 318.

[15] Lihat, Fas’aluu Ahladz Dzikr, hlm. 242.

[16] Ibid, hlm. 243.

[17] Ibid, hlm. 245.

[18] Ibid, hlm. 252.

[19] Lihat, Li Akuuna Ma’ash Shaadiqiin, hlm. 17.

[20] Ibid, hlm. 232.

[21] Lihat, Tsumma Ihtadaetu, hlm. 99.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}