Preloader logo

BONGKAR KEPALSUAN BUKU PUTIH MAZHAB SYIAH (Bagian Ke-8/Selesai)

 Pendahuluan Buku Hitam Dibalik Putih

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Segala puji bagi Allah Rab semesta alam yang telah menunjuki kita semua kepada cahaya Islam dan sekali-kali kita tidak akan mendapat petunjuk jika Allah tidak memberi kita petunjuk. Kita memohon kepada-Nya agar kita senantiasa ditetapkan di atas hidayah-Nya sampai akhir hayat, sebagaimana difirmankan Allah Swt:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan Islam.” QS. Ali Imran: 102.

 

Begitu pula kita memohon agar hati kita tidak dicondongkan kepada kesesatan setelah kita mendapat petunjuk, sebagaimana diajarkan Alquran:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا

“Ya Allah, janganlah engkau palingkan hati-hati kami setelah engkau memberi kami hidayah.” QS. Ali Imran: 8.

 

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa kesetiaan umat Islam terhadap Rasulullah adalah monoloyalitas (kesetiaan tunggal). Kesetiaan itu terwujud dalam bentuk memberikan perhatian sepenuh hati terhadap sunah-sunah beliau, sebagaimana sikap mereka terhadap Alquran. Mereka berusaha keras untuk memeliharanya dari berbagai dusta dan kesalahan yang dapat menodai kemurniannya.

 

Dalam hal ini, kelompok Sy’iah berbeda dengan umat Islam. Kesetiaan mereka terhadap Rasulullah Saw. ternyata tidak monoloyalitas, karena kesetiaan mereka terbagi kepada para imam yang dipandang ma’shum (suci dari dosa dan kesalahan). Bahkan kecintaan mereka kepada para imam melebihi kencintaan kepada Nabi.

 

Syi’ah Imamiyah, Ja’fariyah, Itsna ‘Asyariyah (atau menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait) meyakini para imam ma’shum itu sebanyak 12 Imam (Itsna ‘Asyariyah) yaitu: 1. Ali ibn Abu Thalib, 2. Hasan ibn Ali Al-Mujtaba, 3. Husain ibn Ali Sayyidussyuhada, penghulu para syuhada, 4. Ali ibn Husain, 5. Muhammad Al- Baqir, 6. Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq, 7. Musa ibn Ja’far, 8. Ali ibn Musa Ar-Ridha, 9. Muhammad ibn Ali Al-Taqi Al-Jawad, 10. Ali ibn Muhammad an-Naqi Al-Hadi, 11. Hasan ibn Ali Al-Askari, dan terakhir, 12. Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa Imam Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi masih hidup hingga sekarang ini, tapi dalam keadaan gaib, namun akan muncul kembali pada akhir zaman. [1]

 

Posisi imam dalam keyakinan Syi’ah memiliki kedudukan teristimewa, bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada Nabi Saw. Dalam keyakinan mereka, para imam itu mengetahui hal ghaib, dan mengetahui seluruh ilmu yang dikeluarkan (diajarkan) kepada para malaikat, para nabi dan para rasul, dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmu yang terdahulu dan sekarang, dan tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sesuatu apapun, dan sesungguhnya mereka mengetahui seluruh bahasa alam semesta, dan sesungguhnya seluruh bumi ini adalah milik mereka.

 

Imam al-Kulaini, dalam kitabnya al-Kafi, telah menuliskan berbagai karakteristik kedua belas imam Syiah. Karakteristik dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat para imam Syiah dari manusia biasa hingga tingkatan Tuhan.

 

Seandainya kita hendak menampilkan berbagai karakteristik itu secara keseluruhan dari kitab al-Kafi dan kitab-kitab terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid kitab besar.

 

Karena itu, kami cukupkan dengan kutipan beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari kitab al-Kafi, di antaranya sebagai berikut:

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ جَمِيعَ الْعُلُومِ الَّتِي خَرَجَتْ إِلَى الْمَـلاَئِكَةِ وَ الأَنْبِيَاءِ وَ الرُّسُلِ عليهم السلام

Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul.” [2]

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ مَتَى يَمُوتُونَ، وَأَنَّهُمْ لاَ يَمُوْتُوْنَ إِلاَّ بِاخْتِيَارٍ مِنْهُمْ

“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwa Mereka Tidaklah Meninggal Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri.” [3]

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ عِلْمَ مَا كَانَ وَ مَا يَكُونُ، وَ أَنَّهُ لاَ يَخْفى عَلَيْهِمُ الشَّيْءُ صَلَوَاتُ اللّهِ عَلَيْهِمْ

Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan Sesungguhnya Tidak Ada Yang Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu pun.” [4]

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام عِنْدَهُمْ جَمِيعُ الْكُتُبِ الَّتِي نَزَلَتْ مِنْ عِنْدِ اللّهِ عَزَّ وَ جَلَّ ، وَأَنَّهُمْ يَعْرِفُونَهَا عَلَى اخْتِـلاَفِ أَلْسِنَتِهَا

”Bab: Bahwa Para Imam Memiliki Seluruh Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala Perbedaan Bahasanya.” [5]

بَابُ أَنَّهُ لَمْ يَجْمَعِ الْقُرْآنَ كُلَّهُ إِلاَّ الأَئِمَّةُ عليهم السلام وَ أَنَّهُمْ يَعْلَمُونَ عِلْمَهُ كُلَّهُ

”Bab: Bahwa Tidaklah Ada Orang Yang Pernah Menyatukan Alquran Secara Utuh Selain Para Imam, Dan Bahwa Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung Dalamnya.”[6]

بَابُ مَا عِنْدَ الأَئِمَّةِ مِنْ آيَاتِ الاْءَنْبِيَاءِ عليهم السلام

”Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh Para Imam Dari Mukjizat Para Nabi.” [7]

بَابُ أَنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْحَقِّ فِي يَدِ النَّاسِ إِلَا مَا خَرَجَ مِنْ عِنْدِ الْأَئِمَّةِ عليهم السلام وَ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ عِنْدِهِمْ فَهُوَ بَاطِلٌ

”Bab: Bahwa Tidak Ada Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh Para Imam, Dan Bahwa Segala Sesuatu Yang Tidak Diajarkan Oleh Mereka, Maka Itu Adalah Bathil.” [8]

بَابُ أَنَّ الْأَرْضَ كُلَّهَا لِلْإِمَامِ عليه السلام

Bab: Bahwa Bumi Seluruhnya Adalah Milik Para Imam.” [9]

 

Keyakinan akan keistimewaan para imam sangat mempengaruhi sikap kaum Syi’ah terhadap hadis atau sunah, baik berkaitan dengan kriteria terminologis maupun metodologisnya, bahkan sumber syariat itu sendiri.

 

Dalam konteks ini dapat kita maklumi jika hadis atau sunah versi mereka bukan semata-mata bersumber dari Nabi Saw. melainkan juga dari para imam dua belas tesebut. Demikian itu dinyatakan oleh ulama Syi’ah, antara lain:

 

Syekh Muhammad Baha’uddin al-‘Amili (w. 1031 H) berkata:

عُرِّفَ الْحَدِيْثُ بِأَنَّهُ كَلاَمٌ يَحْكِيْ قَوْلَ الْمَعْصُوْمِ أَوْ فِعْلَهُ أَوْ تَقْرِيْرَهُ

Hadis didefinisikan yaitu perkataan yang menceritakan perkataan orang yang ma’shum, perbuatannya atau ketetapannya.[10]

 

Pengertian hadis menurut mereka berbeda dengan Sunah. Menurut mereka, sunah secara istilah adalah:

نَفْسُ قَوْلِ الْمَعْصُوْمِ، وَفِعْلِهِ،وَتَقْرِيْرِهِ

“Hakikat perkataan orang yang ma’shum, perbuatannya atau ketetapannya.” [11]

 

Dalam redaksi Sayyid Muhammad Taqiy al-Hakim:

فَهِيَ كُلُّ مَا يَصْدُرُ عَنِ الْمَعْصُوْمِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ

“Dan sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dari al-ma’shum, berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.” [12]

 

Sayyid Muhammad Taqiy al-Hakim berkata:

وَأَلْحَقَ الشِّيْعَةُ الإِمَامِيَّةُ كُلَّ مَا يَصْدُرُ عَنْ أَئِمَّتِهِمْ الإِثْنَي عَشَرَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ بِالسُّنَّةِ الشَّرِيْفَةِ

“Syi’ah imamiyah menghubungkan dengan sunah segala sesuatu yang bersumber dari para imam mereka yang dua belas, berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.” [13]

 

Latar belakang pembentukan istilah dan sumber sunah di kalangan Syi’ah, lebih jauh diterangkan oleh Syekh Muhammad Ridha al-Muzhaffar—Pakar Ushul Fiqih Syi’ah kontemporer—sebagai berikut:

السُّنَّةُ فِي اصْطِلاَحِ الْفُقَهَاءِ: (قَوْلُ النَّبِيِّ أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)… أَمَّا فُقَهَاءُ الإِمَامِيَّةِ بِالْخُصُوْصِ فَلَمَّا ثَبَتَ لَدَيْهِمْ أَنَّ الْمَعْصُوْمَ مِنْ آلِ الْبَيْتِ يَجْرِيْ قَوْلُهُ مَجْرَى قَوْلِ النَّبِيِّ مِنْ كَوْنِهِ حُجَّةً عَلَى الْعِبَادِ وَاجِبَ الإِتِّبَاعِ فَقَدْ تَوَسَّعُوْا فِي اصْطِلاَحِ السُّنَّةِ إِلَى مَا يَشْمُلُ قَوْلَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَعْصُوْمِيْنَ أَوْ فِعْلَهُ أَوْ تَقْرِيْرَهُ، فَكَانَتِ السُّنَّةُ بِاصْطِلاَحِهِمْ: (قَوْلُ الْمَعْصُوْمِ أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)

As-Sunah menurut istilah fuqaha’ adalah “Sabda Nabi, perbuatan dan taqrirnya”…Adapun menurut fuqaha Syi’ah Imamiyah—setelah  kokoh keyakinan mereka bahwa perkataan al-Ma’shum dari kalangan Ahlul Bait setingkat dengan perkataan Nabi Saw. sebagai sebuah hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba—sungguh mereka memperluas batasan Sunah menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Ma’shum (dari Ahlul Bait). Sehingga Sunah dalam terminologi mereka adalah “perkataan, perbuatan atau taqrir al-Ma’shum.”

وَالسِّرُّ فِي ذلِكَ أَنَّ الأَئِمَّةَ مِنْ آلِ الْبَيْتِ عليه السلام لَيْسُوْا هُمْ مِنْ قَبِيْلِ الرُّوَاةِ عَنِ النَّبِيِّ وَالْمُحَدِّثِيْنَ عَنْهُ لِيَكُوْنَ قَوْلُهُمْ حُجَّةً مِنْ جِهَةِ أَنَّهُمْ ثِقَاتٌ فِي الرِّوَايَةِ بَلْ لِأَنَّهُمْ هُمُ الْمَنْصُوْبُوْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ لِتَبْلِيْغِ الأَحْكَامِ الْوَاقِعَةِ، فَلاَ يَحْكُمُوْنَ إِلاَّ عَنِ الأَحْكَامِ الْوَاقِعِيَّةِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى َكَمَا هِيَ، وَذلِكَ مِنْ طَرِيْقِ الإِلْهَامِ كَالنَّبِيِّ مِنْ طَرِيْقِ الْوَحْيِ أَوْ مِنْ طَرِيْقِ التَّلَقِّيْ مِنَ الْمَعْصُوْمِ قَبْلَهُ…

Rahasia di balik itu semua adalah karena para imam dari kalangan Ahlul Bait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi—hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka ‘tsiqah’ dalam periwayatannya—namun mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari Allah Ta’ala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham—seperti Nabi melalui jalur wahyu—atau  melalui penerimaan dari (imam) ma’shum sebelumnya…

وَعَلَيْهِ فَلَيْسَ بَيَانُهُمْ لِلأَحْكَامِ مِنْ نَوْعِ رِوَايَةِ السُّنَّةِ وَحِكَايَتِهَا، وَلاَ مِنْ نَوْعِ الإِجْتِهَادِ فِي الرَّأْيِ وَالإِسْتِنْبَاطِ مِنْ مَصَادِرِ التَّشْرِيْعِ، بَلْ هُمْ أَنْفُسُهُمْ مَصْدَرٌ لِلتَّشْرِيْعِ فَقَوْلُهُمْ سُنَّةٌ لاَ حِكَايَةُ السُّنَّةِ

Berdasarkan ini, maka penjelasan mereka terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan Sunah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyri’, akan tetapi karena merekalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri. Maka perkataan mereka adalah sunah, bukan hikayat sunah.” [14]

 

Dengan demikian, Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa wahyu tidak terhenti sepeninggal Rasulullah. Karena itu, imam-imam Syi’ah dapat mengeluarkan hadis dan Sunah. Jadi, tidak heran jika surat-surat dan khutbah para imam serta hal-hal lain yang disangkut pautkan dengan ajaran agama diposisikan sebagai hadis dan Sunah. Ini menjadikan kajian hadis Syi’ah berbeda dengan kalangan Islam. Itulah yang menjadikan penyebab jumlah hadis Syi’ah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis Islam.

 

Dari sini dapat dimaklumi, jika di kalangan Syi’ah jumlah hadis yang bersumber dari para imam itu jauh lebih banyak dibanding dengan hadis Nabi Saw., bahkan hadis Ali sendiri. Demikian itu tampak jelas terlihat jika kita merujuk kepada empat kitab hadis Syi’ah yang standar: al-Kafi, Man La Yahdhuruh al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam, al-Istibshar. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kandungan hadis dalam empat kitab tersebut sebanyak 43.850 hadis. Jika kita merujuk kepada angka itu, akan didapatkan hasil bahwa kapasitas hadis Nabi Saw. dalam empat kitab itu hanya sebesar 11.30 % (4.956 hadis). Sementara kapasitas hadis Ja’far ash-Shadiq (Imam Syi’ah ke-6) sebesar 25 %  (10.967 hadis).

 

Berangkat dari fakta ini, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sumber ajaran Syi’ah itu bukan Sunah Rasulullah, melainkan Sunah Ja’fariyyah. [15]

 

Selanjutnya, hadis-hadis pada masa imam Syi’ah, terutama masa Imam Syi’ah ke-5 Abu Ja’far Muhammad al-Baqir (w. 114 H) dan Imam Syi’ah ke-6 Abu Abdullah Ja’far ash-Shadiq (w.  148 H), telah ditulis dalam ushul dan atsar riwayat, yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Ushul al-Arba’umi’ah (400 kitab himpunan fatwa Ja’far as-Shadiq). [16]

 

400 kitab tersebut tulis oleh 400 di antara 4.000 orang (rawi) yang meriwayatkan hadis dari Ja’far as-Shadiq. Ulama Syi’ah, Muhammad bin Jamaluddin Makiy bin Syamsuddin Muhamad ad-Dimasyi al-’Amili (734-786 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Syahid Awal, berkata:

إِنَّ أَبَا عَبْدِ اللهِ جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ الصَّادِقَ عليه السلام كُتِبَ مِنْ أَجْوِبَةِ مَسَائِلِهِ أَرْبَعُمِئَةِ مُصَنَّفٍ لِأَرْبَعِمِئَةِ مُصَنِّفٍ وَدُوِّنَ مِنْ رِجَالِهِ الْمَعْرُوْفِيْنَ أَرْبَعَةُ آلاَفِ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ

”Sesungguhnya Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq ’alaihi as-salam, jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya telah ditulis dalam 400 karya tulis oleh 400 penulis, dan para rijalnya yang populer dari penduduk Irak telah dikodifikasi.” [17]

 

Ke-400 kitab itu menjadi sumber akidah, ilmu, dan amal bagi orang-orang Syi’ah pada periode berikutnya. Meski demikian, memasuki abad IV, sebagian besar riwayat para imam dalam 400 kitab tersebut mulai terlupakan seiring pergantian zaman dan sebagian lagi terbakar. [18]

 

Sehubungan dengan itu, abad ini (abad IV) dipandang sebagai masa keterputusan Syi’ah secara langsung dari imam mereka. Demikian itu, karena kegaiban Imam ke-12, Muhammad bin Hasan, yang disebut Imam al-Mahdi, pada tahun 329 H. [19]

 

Sejak itu sebagian besar riwayat para imam pada kitab tersebut ”berubah wujud” setelah mendapat editing, dan dikodifikasi kembali dalam empat kitab hadis Syi’ah yang standar, yang disebut al-Kutub al-Arba’ah atau al-Jawami’ al-Awwaliyyah. Keempat kitab tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Al-Kafi, karya Tsiqah al-Islam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini atau al-Kuliini ar-Raziy (w. 329 H), berisi 16.199 hadis. [20]
  2. Man La Yahdhuruh al-Faqih, karya Syekh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin al-Husen bin Musa bin Babawaih al-Qummi (w. 381 H), berisi 9.044 hadis.[21]
  3. Tahdzib al-Ahkam, berisi 13.095 hadis. [22]
  4. Al-Istibshar fii maa Ukhtulifa min al-Akhbar, berisi 5.511 hadis. [23]

Keduanya karya Abu Ja’far Muhamamd bin Hasan At-Thusi (w. 460 H), yang populer dengan sebutan Syekh at-Tha’ifah. [24]

 

Kodifikasi hadis-hadis para imam Syi’ah berakhir pasca periode mutaakhir (Abad XI hingga XIII H). Beberapa kitab hadis Syi’ah terpenting abad itu, antara lain:

 

Al-Wafi’ fii al-Ushul wa al-Furu’ wa as-Sunan wa al-Ahkam, [25] karya Muhammad Muhsin (w. 1091 H) atau yang populer dengan sebutan al-Faidh al-Kasyani.

 

Tafshil Wasa’il asy-Syi’ah ila Tahsil Masa’il asy-Syari’ah, [26] karya Muhammad bin Hasan Al-Hurr al-‘Amili (w. 1104 H), yang dianggap sebagai kitab terlengkap yang memuat hadis hukum fiqih bagi Syi’ah Imamiyah.

 

Bihar al-Anwar al-Jami’ah Li Durar Akhbar al-Aimmah al-Athhar, [27] karya Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1110/1111 H).

Ulama Syi’ah menyatakan bahwa Bihar al-Anwar adalah kitab terbesar yang memuat hadis dari kitab-kitab rujukan Syi’ah.[28]

 

Mustadrak al-Wasaa’il wa Mustanbath al-Masaa’il, karya Haji Mirza Husein an-Nuri At-Thabrasi (w. 1320 H).

Agho Bazrak ath-Thahraniy[29] mengatakan, “Kitab Mustadrak al-Wasa’il menjadi seperti kitab kumpulan hadis lainnya yang harus ditelaah dan dijadikan rujukan oleh para mujtahid dalam memutuskan hukum syariat. Kebanyakan ulama kami saat ini tunduk mengikuti kitab itu.[30] Lalu Agho Bazrak memperkuat pernyataannya dengan nukilan dari ulama-ulama Syi’ah yang menjadikan kitab Mustadrak al-Wasa’il sebagai rujukan utama mereka.[31]

 

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa hadis-hadis para imam Syi’ah, khususnya Imam ke-6 Ja’far ash-Shadiq, terhimpun dalam literatur utama sebanyak delapan kitab. Ulama Syi’ah menyebutnya dengan “Al-Jawami’ Ats-Tsamaniah” (kitab kumpulan yang delapan). [32]

 

Empat di antaranya ditulis oleh tiga orang yang bernama Muhammad yang hidup terdahulu, tiga lagi ditulis oleh tiga orang yang bernama Muhammad yang hidup setelah tiga yang pertama, yang kedelapan ditulis oleh Al-Husein an-Nuri At-Thabrasi.

Kitab pertama dan yang tershahih di antara delapan kitab di atas ialah al-Kafi. Hal itu seperti disebutkan oleh para ulama Syi’ah, antara lain Syekh ath-Thusi (w. 461 H), sebagaimana dinyatakan oleh Syekh Ali an-Namazi asy-Syahirudi:

وَنَقَلَ فِي كِتَابِ الْعُدَّةُ الإِجْمَاعَ عَلَى صِحَّةِ الْكُتُبِ الأَرْبَعَةِ، وَمَجَّدَ فِي كِتَابِهِ الْفَهْرَسَتُ الشَّيْخَ الْكُلَيْنِيَّ كَثِيْرًا وَقاَلَ : إِنَّ كِتَابَ الْكَافِي هُوَ أَصَحُّ الْكُتُبِ الأَرْبَعَةِ .

“Dan beliau mengutip pada kitab al-‘Uddah ijma ulama Syi’ah atas keshahihan kitab yang empat dan dalam kitabnya al-Fahrasat, beliau banyak memuji Syekh al-Kulaini, dan beliau berkata, ‘Sesungguhnya kitab al-Kafi adalah kitab tershahih di antara kitab yang empat’.” [33]

 

Juga oleh Syekh al-Hurr al-‘Amili[34] (w. 1104 H), Syekh an-Nuri ath-Thabarsi[35] (w. 1320 H), dan Syekh ath-Thahrani[36] (w. 1389 H).

 

Para ulama Syi’ah di atas menyebutkan bahwa kitab al-Kafi adalah kitab yang tershahih dari empat kitab utama mereka, karena kitab al-Kafi ditulis pada era Ghaibah Sughra, yang mana saat itu masih mungkin untuk mengecek validitas riwayat yang ada dalam kitab itu. Karena pada era Ghaibah Sughra, Imam Mahdi versi mereka masih dapat dihubungi melalui “duta yang empat” yang dapat berhubungan dengan Imam Mahdi dan menerima seperlima bagian dari harta Syi’ah. [37]

 

Status kitab al-Kafi dipertegas pula oleh ulama besar Syi’ah Abdul Husain al-Musawi[38] (W. 1377 H) sebagai berikut:

وَأَحْسَنُ مَا جُمِعَ مِنْهَا الْكُتُبُ الأَرْبَعَةُ الَّتِي هِيَ مَرْجِعُ الإِمَامِيَّةِ فِي أُصُولِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ مِنَ الصَّدْرِ الأَوَّلِ إِلَى هَذَا الزَّمَانِ وَهِيَ: الْكَافِي, وَالتَّهْذِيْبُ, وَالاِسْتِبْصَارُ, وَمَنْ لاَيَحْضُرُهُ الْفَقِيْهُ, وَهِيَ مُتَوَاتِرَةٌ وَمَضَامِيْنُهَا مَقْطُوْعٌ بِصِحَّتِهَا, وَالْكَافِي أَقْدَمُهَا وَأَعَظْمُهَا وَأَحْسَنُهَا وَأَتْقَنُهَا

“Sebaik-baik himpunan sabda Imam Ja’far Shadiq ialah empat kitab yang menjadi rujukan utama syi’ah imamiyah dalam masalah-masalah pokok dan cabang sejak generasi syi’ah yang pertama sampai dengan zaman ini yaitu alKafi, al-Tahdzib, al-Istibshar, dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Kitab-kitab tersebut mutawatir dan isinya dipastikan shahih, sedangkan al-Kafi ialah yang paling dahulu, paling agung, paling baik, dan paling teliti.” [39]

 

Sehubungan dengan itu, Pakar hadis Syi’ah kontemporer, Khadim Ahlul Bait, Dr. Husain Ali Mahfuzh berkata:

وَقَدِ اتَّفَقَ أَهْلُ الإِمَامَةِ وَجُمْهُوْرُ الشِّيْعَةِ عَلَى تَفْضِيْلِ هذَا الْكِتَابِ وَالأَخْذِ بِهِ وَالثِّقَةِ بِخَبَرِهِ وَالإِكْتِفَاءِ بِأَحْكَامِهِ

“Ahlul imamah dan Jumhur Syi’ah telah bersepakat atas pengutamaan kitab ini (al-Kafi), memegang teguh kitab itu, mempercayai hadis-hadisnya dan mencukupkan diri dengan hukum-hukumnya.” [40]

 

Pernyataan dan fakta di atas menunjukkan bahwa dalam rentang waktu sekitar 390 tahun—pada periode mutaqaddimin—tidak ada seorang pun ulama Syi’ah yang menolak kedudukan al-Kafi sebagai rujukan utama Syi’ah Imamiyah, dan hal itu terus berlanjut hingga periode mutaakhirin serta dikukuhkan pula oleh ulama Syi’ah dewasa ini.

 

Sehubungan dengan itu, Pakar Hadis Syi’ah kontemporer, Syekh Dr. Abdurrasul Abdul Hasan al-Ghaffar mengatakan:

فَمُنْذُ أَحَدَ عَشَرَ قَرْنًا وَإِلَى الآنِ إِتَّكَا الْفِقْهُ الشِّيْعِيُّ الإِمَامِيُّ عَلَى هذَا الْمَصْدَرِ ، لِمَا فِيْهِ مِنْ تُرَاثِ أَهْلِ الْبَيْتِ سلام الله عليهم ، وَلِكَوْنِهِ أَصَحَّ الْكُتُبِ الأَرْبَعَةِ ، وَأَكْثَرَهَا فَائِدَةً ، وَأَفْضَلَهَا مِنْ حَيْثُ الشُّمُوْلِيَّةُ وَالتَّرْتِيْبُ وَالتَّقْسِيْمُ ، وَأَنَّ مُصَنِّفَهُ جَمَعَ بَيْنَ الأُصُوْلِ وَالْفُرُوْعِ وَالآثَارِ وَالسُّنَنِ ، كَمَا أَنَّ تَبْوِيْبَهُ حَسْبَ كُتُبِ الْفِقْهِ ، مِمَّا يُعِيْنُ الْمُجْتَهِدَ وَالْمُسْتَنْبِطَ لِلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ

“Maka sejak sebelas abad yang lalu hingga sekarang ini, fiqih orang Syi’ah imamiyah bersandar pada sumber ini, karena di dalamnya terdapat warisan Ahlu Bait salaamullah ‘alihim, dan karena ia kitab tershahih di antara empat kitab, paling banyak manfaatnya, paling utama dari aspek kelengkapan, sistematika, dan klasifikasi. Penyusunnya telah mengkombinasikan antara Ushul, furu, atsar, dan sunan, sebagaimana pula sistematika topiknya selaras dengan kitab-kitab fiqih yang dapat membantu para mujtahid dan pengistinbat hukum syariat.“ [41]

 

Demikian itu menunjukkan bahwa mayoritas ulama Syi’ah meyakini betul keshahihan al-Kafi secara keseluruhannya tanpa keraguan sedikit pun, sehingga mereka menerima kehujahan hadis-hadis dalam kitab itu.

 

Bagi orang Syi’ah,  berbagai pernyataan ulama mereka tersebut di atas tentu saja harus diyakini bukan isapan jempol belaka, karena tidak semata-mata mereka memberikan predikat seperti itu, kecuali setelah mengadakan penelitian-penelitian terhadap kitab tersebut.

Jadi, tampak aneh—bahkan mungkin lucu sekali—jika kini, di Indonesia, muncul berbagai pernyataan:

  • Bahwa tidak semua hadis yang ada dalam kitab al-Kafi sebagai shahih.
  • Bahwa al-Kafi, karya al-Kulaini memang menjadi rujukan Syi’ah tetapi tidak ada ulama Syi’ah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat al-Kafi
  • Bahwa al-Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait Ia hanyalah mengumpulkan hadis-hadis dari Ahlul Bait. Menurut mereka tidak ada sedikitpun pernyataan al-Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan shahih.

 

Tentu dapat dimaklumi, jika berbagai pernyataan itu muncul dari para ustadz Syi’ah yang tidak akrab dengan kitab-kitab mereka, apalagi terlontar dari kalangan umat Syi’ah awam. Namun lain ceritanya jika hal itu dilakukan oleh para tokoh Syi’ah di Indonesia, apalagi yang pernah mengenyam pendidikan di Qum, Iran, seperti Tim Penulis Buku Putih Mazhab Syiah, Menurut Para Ulama yang Muktabar. Buku ini diterbitan oleh DEWAN PENGURUS PUSAT AHLUL BAIT INDONESIA, tahun 2012.

 

Bagi orang awam pengikut Syi’ah, atau para ustadz mereka yang tidak mengetahui kandungan kitab-kitab Syi’ah, buku ini bisa dianggap “benar” dan menganggap seperti itulah gambaran akurat mengenai Syi’ah. Tetapi, bagi yang paham mengenai kitab-kitab Syi’ah,  buku ini dipandang tidak benar karena tidak seperti itu gambaran akurat mengenai Syi’ah.

 

Ke-tidakbenar-an pertama dan utama pada buku ini paling tidak terindikasi dalam beberapa aspek, antara lain:

  • tidak transparan dalam menampilkan data dan informasi yang sesungguhnya. Pasalnya, berbagai fakta dan data yang dikemukakan oleh para ulama Syi’ah sendiri banyak yang tidak ditampilkan. Entah jika dipandang berbeda haluan dengan para penulis “Buku Putih”.
  • Pembajakan istilah “Jumhur ulama Sy’iah”. Pasalnya, penulis “Buku Putih” sering menyebut istilah Jumhur ulama Sy’iah[42] namun tidak menampilkan teks asli pendapat—yang diklaim sebagai pendapat—jumhur ulama yang dimaksud dan tidak pula menyebutkan sumber-sumber primer dalam dakwaannya itu.

 

Dengan cara demikian, buku ini tidak memberi pemahaman seutuhnya tentang Syi’ah. Bukankah kehadiran “Buku putih” tersebut—seperti diharapkan Ketua DPP ABI, Hasan Alaydrus—memberi pemahaman seutuhnya tentang Syiah? Bukankah keberadaan Buku putih tersebut—seperti diharapkan Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. dalam pengantarnya di buku itu— memperkenalkan Syiah agar difahami dengan benar?

 

Semoga saja cara demikian itu tidak termasuk metode yang disinyalir oleh Bang Haidar Bagir, dalam tulisannya di Harian Republika dengan judul “Syi’ah dan Kerukunan Umat” (Republika, 20 Januari 2012).

 

Dari sekian banyak fakta dan data yang tidak ditampilkan dalam buku ini berkenaan dengan sikap para ulama Syi’ah terhadap status kitab al-Kafi. Betapa tidak, fakta dan data tentang itu—yang sejatinya terekam sekitar 1.100 tahun lamanya—hanya ditampilkan dalam  empat paragraf di dua halaman (30 dan 31).

 

Kami tidak tahu, sikap para penulis demikian itu didasarkan atas keyakinan taqiyah[43] atau argumentasi ilmiah? Agar sikap mereka itu tidak berada pada grey area (wilayah abu-abu) maka berbagai pernyataan tentang al-Kafi di “Buku Putih” yang tidak putih itu kami konfrontasikan dengan beberapa fakta dan data yang terekam dalam kitab-kitab Syi’ah sendiri, terutama Imam al-Kulaini dalam kitabnya, al-Kafi. Selain itu, argumentasi mereka kami uji pula sesuai standar ilmiah versi ulama Syi’ah agar diketahui kadar keshahihan dan konsistensinya.

 

Untuk keperluan itu, buku bantahan ini secara garis besar memuat tentang kerancuan konsepsi metodologis hadis kaum Syi’ah, karakteristik kitab al-Kafi, dan Sikap Penulis “Buku Putih”terhadap al-Kafi, Taqiyyah Atau Ilmiah?

 

Tentang kerancuan konsepsi metodologis hadis kaum Syi’ah, diawali dengan uraian tentang konstruk epistemologi hadis yang dibangun oleh Syi’ah, yaitu (1) persoalan asal pengetahuan atau sumber, dalam hal ini siapa sumber utama yang bisa mengeluarkan hadis; (2) apa hakekatnya, artinya bagaimana kedudukan hadis menurut Syi’ah; dan (3) persoalan verifikasi, yaitu bagaimana mengukur validitas atau otentisitas hadis, sehingga bisa dijadikan dasar hukum yang kuat.

 

Dalam uraian ini, pembaca akan mengetahui sumber hadis dalam keyakinan Syi’ah, yang membedakannya dengan pandangan Ahlus Sunah. Selanjutnya, akan diketahui pengaruh Imamiyah pada pembatasan imam yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi, hadis tidak sampai pada tingkatan shahih jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan. Selain itu dapat diketahui pula perbedaan kriteria yang ditetapkan oleh ulama Syi’ah baik antara periode mutaqaddimin dengan mutaakhirin, maupun antara ulama Syi’ah mutaakhirin dengan mu’ashirin (modern). Perbedaan ini berimplikasi terhadap kualitas hadis di kalangan Syi’ah. Pembahasan ini diakhiri dengan pemaparan kriteria keshahihan hadis versi al-Kulaini, penyusun kitab al-Kafi.

 

Berbagai aspek ini penting disampaikan untuk menunjukkan suatu fakta bahwa di kalangan ulama Syi’ah terdapat problem metodologis. Selain itu, agar diketahui tolok ukur kelayakan metodologi yang problematik ini digunakan sebagai standar validitas kitab al-Kafi yang telah mapan.

 

Selanjutnya tentang karakteristik kitab al-Kafi, dijelaskan siapa penulis kitab al-Kafi dan apa saja yang terkandung di dalamnya. Hal ini penting disampaikan untuk menunjukkan suatu fakta bahwa di kalangan ulama Syi’ah terdapat perbedaan dalam menetapkan beberapa aspek dalam kitab itu, baik aspek kitab (topik), bab, maupun hadis. Selain itu, juga diuraikan tentang unsur epistemologi kitab al-Kafi, sesuai kajian teoritis pada pembahasan sebelumnya, berkaitan dengan sumber hadis atau asal pengetahuan, hakekat hadis, dan persoalan verifikasi hadis yang terkandung di dalam kitab al-Kafi.

 

Dalam uraian ini, pembaca akan mengetahui bahwa unsur-unsur epistemologi itu pada dasarnya telah terpenuhi di dalam kitab al-Kafi. Dari situ dapat dipahami mengapa ulama Syi’ah sepakat menetapkan bahwa semua hadis dalam kandungan al-Kafi derajatnya shahih. Selain itu, dapat diketahui pula kelemahan argumentasi pihak Sy’iah “yang menolak” kehujahan hadis-hadisnya.

 

Terakhir, tentang sikap penulis “Buku Putih” terhadap al-Kafi. Pada bagian ini ditampilkan beberapa pernyataan dari penulis “Buku Putih Mazhab Syi’ah” yang menunjukkan sikap penolakan terhadap status hadis-hadis dalam kitab al-Kafi. Lalu sikap mereka dikonfrontasikan dengan beberapa fakta dalam kitab-kitab Syi’ah sendiri, yaitu pandangan para tokoh yang sama sekali tidak disinggung oleh penulis.

 

Pandangan para tokoh ini penting kami sampaikan—dengan tanpa  bermaksud ikut campur urusan “rumah tangga” Syi’ah—mengingat pentingnya transparansi arus data dan informasi untuk penyadaran umat, khususnya umat Syi’ah di Indonesia, karena pandangan “Kubu” ini sangat jarang diungkap oleh para tokoh Syi’ah di Indonesia. Untuk keperluan itu,  kami  menggunakan metode verifikasi (tahqiq) dan pengunjukan teks (takhrij an-nash) yang dikemukakan penulis “Buku Putih” dalam rangka penguatan argumentasi ilmiah, atau….taqiyyah-nya?

 

Selain itu, pernyataan dari penulis kami uji dengan standar ilmiah versi ulama Syi’ah mutaakhirin, untuk diketahui validitas argumentasi dan konsistensi mereka.

 

Dalam pengungkapan fakta dan data, kami berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan teks asli setiap pendapat ulama Syi’ah yang dirujuk dan tidak lupa menyebutkan sumber-sumber primer dan sekundernya, baik yang ditulis oleh “Kubu Akhbari” maupun “Kubu Ushuli”, seperti diklaim oleh mereka. [44]

 

Teks asli setiap pendapat ulama Syi’ah itu sengaja kami tampilkan apa adanya—tanpa syakal atau baris—demi menjaga keasliannya. Adapun bagi pembaca awam yang belum faham gramatika bahasa Arab, kami berupaya menyertakan terjemahan yang paling mendekati maksud dari setiap pendapat itu.

 

Hadirnya buku ini semoga saja dapat menyelamatkan orang awam pengikut Syi’ah dari satu keadaan yang sering diungkap dalam kata pepatah: “sudah jatuh tertimpa tangga.“  Pasalnya, dengan kehadiran “buku putih“ “yang hitam” itu bisa jadi mereka yang awam bukan malah mendapatkan hidayah melainkan mendapatkan kebodohan dan kesesatan.

 

Oleh karena itu, sebagai nasehat bagi orang awam pengikut Syi’ah dan tambahan ilmu bagi saudara-saudara Ahlus Sunah, kami tulis tanggapan dan bantahan terhadap “Buku Putih” “yang hitam” ini secara berseri agar tidak terlalu tebal, dan yang paling penting tentu saja agar mudah dicerna. Semoga buku tanggapan dan bantahan ini bermanfaat dan menjadi amal saleh di sisi Allah.

 

By Amin Muchtar, Mubaligh Persis, Penulis Buku Buku “Hitam”

 

Kajian selengkapnya dapat dibaca dalam Buku Hitam dibalik Putih, Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab Syiah.

 

Info dan Pemesanan: BBM 52BAAD79 – 081221801973 / 085221240672

 

 

 

 

[1] Lihat, Buku Putih Mazhab Syiah, hal. 22-23.

[2] Lihat, al-Kafi,  jilid 1, hal. 255, pada kitab al-Hujjah.

[3] Ibid., hal. 258.

[4] Ibid., hal. 260.

[5] Ibid., hal. 227.

[6] Ibid., hal. 228.

[7] Ibid., hal. 231.

[8] Ibid., hal. 339.

[9] Ibid., hal. 407.

[10]Lihat, Masyriq asy-Syamsain, hal. 268 dan al-Wajizah fi ad-Dirayah, hal. 2. Lihat pula keterangan  Syekh Abdullah bin Muhammad Hasan al-Mamqani dalam Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 57; Syekh Hasan ash-Shadr, dalam Nihayah ad-Dirayah, hal. 80.

[11]Lihat keterangan Syekh Hasan ash-Shadr, Nihayah ad-Dirayah, hal. 85; Syekh I’dad Abu al-Fadhl al-Babuli, Rasa’il fi Dirayah al-Hadis, Juz 2, hal. 530; Syekh Muhammad Husen al-Anshari, al-Ma’ayir al-’Ilmiyyah li Naqd al-Hadits, hal. 20; Syekh Muhammad Kazhim al-Khurasani, Kifayah al-Ushul, hal. 8; Syekh al-Anshari, Fara’id al-Ushul, hal. 365; Syekh Hasan bin Ali Asghar al-Musawi, Muntaha al-Ushul, Juz 2, hal. 117; Sayyid Muhsin al-Hakim, Haqa’iq al-Ushul, hal. 12.

[12]Lihat, al-Ushul al-’Ammah li al-Fiqh al-Muqaran, hal. 122. Lihat pula keterangan Syekh Abu Thalib at-Tajlil at-Tibrizi dalam Tanzih ay-Syi’ah al-Itsna ’Asyariyah ’an asy-Syubuhat al-Wahiyah, hal. 57.

[13]Lihat, Sunah Ahl al-Bait, hal. 9.

[14]Lihat, Ushul al-Fiqh, hal. 331-332.

[15] Sehingga mereka disebut kelompok Syi’ah Ja’fariyyah dan fikihnya disebut fikih Ja’fari, padahal Imam Ja’far berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Baca kitab Usthurah al-Fiqh  al-Ja’fari, karya Syaikh Dr. Thaha al-Dulaimi yang diterjemahkan oleh Ustadz Agus Hasan Bashori, Lc. M.Ag, dengan judul: Mitos Fikih Ja’fari.

[16] Para ulama Syi’ah sendiri berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata Ashal yang dimaksud. Antara lain menurut Sayyid Mahdi Bahrul Ulum (w. 1212 H), ”Ashl menurut istilah para ahli hadis bermakna kitab sandaran yang tidak diambil dari kitab lain.” (Lihat, Tanqih al-Maqal, Juz 1, hal. 464) Sementara menurut Mula Ali Kaniy, ”Kata al-ashl dalam ucapan para sahabat imam dan ulama Syi’ah abad VI hingga XI bermakna kompilasi riwayat yang dikumpulkan oleh para murid imam agar tetap abadi selamat dari terlupa, kerusakkan, dan dapat diakses pada saat diperlukan. Dan hadis-hadis ini pada umumnya berupa ucapan para imam ma’shum, yang diambil dari mereka secara langsung. Atau dapat pula para penyusun itu menghimpunnya tanpa disertai syarah (komentar) dari mereka sendiri. Karena itu, terkadang disebut pula kitab dan Mushannaf.” (Lihat, Tawdhih al-Maqal fi ’Ilm ar-Rijal, hal. 48).

[17] Lihat, Dzikra asy-Syi’ah fi Ahkam asy-Syari’ah, Juz 1, hal. 59. Lihat pula keterangan Muhammad Muhsin bin Muhammad Ridha ar-Razi, populer dengan sebutan Agho Bazrak ath-Thahraniy dalam kitabnya adz-Dzari’ah ilaa Tashaanif asy-Syi’ah, jilid. 2, hal. 129.

[18] Lihat, keterangan Agho Bazrak ath-Thahraniy dalam kitabnya adz-Dzari’ah ilaa Tashaanif asy-Syi’ah, jilid. 2, hal. 136.

[19] Lihat, keterangan Sayyid Muhsin al-Amin dalam A’yan as-Syi’ah, jilid. 2, hal. 48.

[20] Al-Kafi terdiri atas tiga bagian besar: al-Ushul, al-Furu’, ar-Rawdhah. Al-Ushul min al-Kafi telah dicetak berulang kali, yang pertama tahun 1278 H di Syiraz. Selanjutnya,  tahun 1278 H di Teheran; Tahun 1281 H. di Tibriz; Tahun 1302 di Lucknow, India; Tahun 1307 H. di Teheran; Tahun 1311 H. dicetak lagi di Tibriz dan dalam tahun yang sama dicetak pula di Teheran; Tahun 1318 H, 1325 H, 1331 H, 1374 H, 1375-1378 H semuanya di Teheran; Tahun 1376 di Najf. Sementara cetakan dalam format komplit, antara lain diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Iran, pada tahun 1388 H. dalam 8 jilid, dengan Tahqiq Ali Akbar al-Ghifari; diterbitkan pula oleh Dar al-Hadis, Qum, Iran, tahun 1430 H. dalam 15 jilid, dengan tahqiq Markaz Buhuts Dar al-Hadis.

[21] Dicetak di Teheran, Iran, tahun 1324 H, dan di India tahun 1306 H.

[22] Dicetak di Teheran, Iran, tahun 1318 H, dalam dua jilid.

[23] Dicetak di Lucknow, India, tahun 1307 H, dalam dua jilid.

[24]Kandungan hadis dalam keempat kitab itu sebanyak 43.850 hadis. Sementara dalam  tujuh kitab hadis yang standar di kalangan  Islam (al-kutub as-Sittah) sekitar 61.907 atau 63.865 hadis, meliputi: Musnad Ahmad sebanyak 27.688 hadis; Shahih al-Bukhari, 7.124 atau 9.082 hadis; Shahih Muslim, 7.748 hadis; Sunan Abu Dawud, 5.276 hadis; Sunan at-Tirmidzi, 3.956 hadis; Sunan an-Nasai, 5.774 hadis; Sunan Ibnu Majah, 4.341 hadis. Jadi, perbandingan kapasitas hadis dalam kitab al-Kafi sebesar 25 % dari total hadis dalam tujuh kitab hadis yang standar di kalangan Islam.

[25] Dicetak di Teheran, Iran, tahun 1310 H, dan 1324 H.

[26] Dicetak di Teheran, Iran, tahun 1324 H, dalam 3 jilid, dan telah dicetak pula sebelum tahun itu.

[27] Dicetak di Teheran, Iran, dalam 26 jilid. Pada perkembangan selanjutnya, kitab ini dicetak dalam 110 jilid.

[28] Keterangan mengenai kitab ini bisa dilihat dalam Adz-Dzari’ah ilaa Tashaanif asy-Syi’ah, karya Syekh Agho Bazrak ath-Thahraniy, Juz 3, hlm. 27; A’yan asy- Syi’ah, Juz 1, hlm. 293.

[29] Namanya Muhammad Muhsin bin Muhammad Ridhaa (w. 1389 H), populer dengan sebutan Agho Bazrak ath-Thahraniy.

[30] Lihat, Adz-Dzari’ah, jilid. 2, hal. 110-111.

[31] Ibid., hal. 111.

[32] Lihat, Sayyid Muhsin al-Amin dalam A’yan as-Syi’ah, jilid. 1, hal. 288. Sebagaimana disebutkan pula oleh Sayyid Mahmud bin Sayyid Mahdi al-Musawi dalam Miftah al-Kutub Al-Arba’ah, jilid. 1, hal. 5.

[33]Lihat, Mustadrak Safinah al-Bihar, Juz 2, hal. 17 dan Mustadrakat ‘Ilm Rijal al-Hadits, hal. 13.

[34] Namanya Muhammad bin Hasan Al-Hurr Al-Amili dalam kitabnya Tafshil Wasa’il asy-Syi’ah ila Tahsil Masa’il asy-Syari’ah, jilid. 20, hal. 71.

[35] Lihat, Mustadrak al-Wasa’il wa Mustanbath al-Masaa’il, jilid. 3, hal. 432.

[36] Lihat, adz-Dzari’ah ilaa Tashaanif asy-Syi’ah, jilid. 17, hal. 245.

[37] Lihat pula, pernyataan Tsamir Hasyim Habib dalam Difa’ ‘an al-Kafi, jilid I, hal. 31.

[38] Nama lengkapnya Abdul Husein bin Sayid Yusuf bin Sayid Jawad Syarafuddin Al-Musawi Al-Amili.

[39] Lihat, al-Muraja’aat, hal 419. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad al-Baqir dan dipublikasikan oleh Penerbit Mizan pada tahun 1403 H/1983 M, dengan judul “Dialog Sunah Syiah”.

[40] Lihat, Muqaddimah kitab al-Kafi, terbitan Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Cet. III tahun 1388 H, hal. 26.

[41] Lihat, al-Kulaini wa al-Kafi, hal. 422.

[42] Menurut perhitungan kami istilah itu disebut oleh penulis “Buku Putih” sebanyak 11 kali (hal. vi, 1 kali; hal. 6, 3 kali; hal. 29, 2 kali; hal. 31, 1 kali; hal. 34, 1 kali; hal. 50, 1 kali; hal. 217 (lampiran) 1 kali; hal. 220 (lampiran) 1 kali. Selain itu, penulis “Buku Putih” juga membajak istilah Jumhur ulama sebanyak 2 kali; hal. 85 dan hal. 170.

[43] Salah seorang ulama kenamaan Syi’ah, Muhamad bin Muhamad bin al-Nu’man al-‘Akbari al-Baghdadi (w. 413 H), yang populer dengan sebutan Syekh Mufid, menjelaskan, Taqiyyah adalah menyimpan kebenaran dan menyembunyikan keyakinan, serta merahasiakannya terhadap orang-orang yang tidak seakidah dan tidak minta bantuan mereka dalam hal-hal yang dapat mengakibatkan bahaya, baik dalam urusan agama maupun keduniaan.” (Lihat, Syarh Aqa’id as-Shaduq, hal. 261).

[44] Menurut mereka, Akhbari adalah pendekatan tekstualis dan skripturalis yang mirip pendekatan Ahlul Hadis yang menolak prinsip-prinsip rasional dalam penyimpulan hukum-hukum agama (istinbathul hukm). Sedangkan Ushuli adalah pendekatan yang menerima prinsip-prinsip rasional dalam memahami teks Alquran dan Sunah, serta menyimpulkan hukum-hukum dari kedua sumber tersebut.  (Lihat, Buku Putih Mazhab Syiah, hal. 29)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}