Preloader logo

BERCINCIN “KARENA ALLAH” (Bagian II)

Petunjuk Quran tentang Perhiasan

Islam telah memperkenankan bahkan menyerukan kepada umatnya supaya berhias, dan menentang keras kepada siapa yang mengharamkannya. Sehubungan dengan itu, Allah Swt. telah memberikan perintah kepada Nabi Muhammad untuk menyatakan:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” QS. Al-A’raf: 32

Ayat ini turun untuk merespons pendapat orang yang mengharamkan urusan pangan dan sandang menurut kehendak hatinya sendiri tanpa berlandaskan ketetapan syariat Allah. Melalui ayat ini, Nabi Muhammad saw. diperintah untuk menyatakan kepada orang-orang kafir yang mengharamkan segala sesuatu menurut pendapat dan rekayasa mereka sendiri: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya.”

Maksudnya, berbagai perhiasan dan makanan yang baik dari Allah itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.

Dalam ayat di atas, Allah membolehkan orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dan memuaskan dirinya sendiri dengan beragam barang dan berbagai jenis perhiasan yang diciptakan Allah untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan kebutuhan pada dasarnya tidak dikutuk dalam Islam selama tidak mendorong kepada perilaku isrâf dan tabdzîr. Isrâf berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum. Sementara tabdzir berarti mempergunakan harta sebagai sarana menuju tujuan-tujuan yang terlarang.

Prinsip ini sejalan dengan pandangan dasar Islam, sebagaimana terurai pada bahasan sebelumnya, bahwa hukum asal adalah boleh memanfatkan segala sesuatu yang Allah ciptakan di muka bumi, sampai terdapat dalil yang mencegahnya, karena tiada hak bagi makhluk dalam mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah kecuali dengan izin-Nya. Jadi, hukum asal memanfatkan berbagai jenis perhiasan adalah halal sampai terdapat dalil yang mencegahnya.

Berhias dengan Emas dan Perak

Islam menyambut baik kehadiran  emas dan perak dalam kehidupan manusia. Bahkan, kecenderungan manusia terhadapnya telah diapresiasi Al-Quran. Al-Quran secara tegas menyatakan:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. QS.Ali Imran:14

Dalam ayat di atas, setidaknya terdapat naluri rasa cinta manusia akan dunia dalam tiga sasaran: (1) cinta laki-laki terhadap wanita (dan sebaliknya); (2) cinta kepada anak-anak; (3) cinta akan harta kekayaan. Cinta terhadap emas dan perak termasuk bagian dari naluri rasa cinta manusia.

Para ahli fikih menafsirkan zahab dan fidhah di atas tidak dalam kategori logam mulia dan perhiasan semata namun meliputi pula alat tukar berupa Dinar (mata uang emas) dan Dirham (mata uang perak). Misalnya, menurut As-Suddy, “Al-Qanathir muqantharah itu adalah emas atau perak yang dicetak hingga menjadi Dinar dan Dirham.”[1] Dalam pandangan Ibnu Abbas, “Al-Qinthar itu senilai 12.000 Dirham atau 1000 Dinar.”[2] Menurut Mujahid, “Al-Qinthar itu senilai 70.000 Dinar.”[3] Sementara menurut Ad-Dhahak, “Qinthar emas senilai 1200 Dinar. Qinthar perak senilai 1200 mitsqal.”[4]

 Jadi, pandangan  Al-Quran  terhadap  perhiasan emas dan perak pada dasarnya  bertitik tolak  dari  pandangannya terhadap naluri   manusia,  di antaranya senang berhias dan mempergunakan perhiasan.

Secara praktis pandangan Al-Quran tentang perhiasan itu terwujud dalam sikap Nabi saw. terhadap penggunaan emas dan perak, antara lain berupa cincin. Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa pada mulanya Rasulullah saw mengenakan cincin emas. Demikian itu sebagaimana diterangkan Ibnu Umar dalam riwayat berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ وَكَانَ يَلْبَسُهُ فَيَجْعَلُ فَصَّهُ فِي بَاطِنِ كَفِّهِ فَصَنَعَ النَّاسُ خَوَاتِيمَ ثُمَّ إِنَّهُ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَنَزَعَهُ فَقَالَ إِنِّي كُنْتُ أَلْبَسُ هَذَا الْخَاتِمَ وَأَجْعَلُ فَصَّهُ مِنْ دَاخِلٍ فَرَمَى بِهِ ثُمَّ قَالَ وَاللَّهِ لَا أَلْبَسُهُ أَبَدًا فَنَبَذَ النَّاسُ خَوَاتِيمَهُمْ

Dari Ibnu Umar Ra., bahwa Rasulullah saw. membuat cincin dari emas dan beliau memakainya. Beliau menempatkan mata cincin di bagian telapak tangan. Maka para Sahabat membuat cincin-cincin. Kemudian beliau duduk pada mimbar dan mencabut cincin (emasnya) dan bersabda, “Dulu aku memakai cincin ini dan menempatkan mata cincinnya berada di dalam.” Kemudian beliau melemparkan cincin (emas) tersebut, lalu bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan pernah memakainya untuk selamanya. Kemudian para Sahabat juga melemparkan cincin-cincin (emas) mereka.” HR. Al-Bukhari dan Muslim. [5]

Hadis di atas menunjukkan dengan jelas bahwa pada mulanya Nabi saw. mengenakan cincin emas (dalil perbuatan), namun kemudian membuangnya (dalil perbuatan) dan menyatakan tidak akan mengenakannya selama-lamanya (dalil perkataan).

Dari sana kita mengetahui bahwa pada event ini keterangan status hukum penggunaan cincin emas diperoleh  dari dua bentuk bayaan (keterangan): Pertama, perbuatan (fi’liy); kedua, perkataan (qauliy). Meski begitu sikap Nabi saw. terhadap cincin emas, namun saat itu beliau tidak menjelaskan tingkat akurasi hukumnya: apakah haram ataukah makruh? Jika haram, apakah haram zat (murni) ataukah karena motif hukum (‘illat) tertentu?

Kejelasan tingkat akurasi hukumnya dapat kita temukan pada event lain melalui sabda beliau, baik kepada seluruh laki-laki secara umum maupun kepada individu tertentu secara khusus. Sabda beliau secara umum kita dapati pada riwayat sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ

Dari Abu Hurairah Ra., dari Nabi saw. bahwa beliau melarang dari cincin emas (bagi laki-laki).” HR. Al-Bukhari dan Muslim. [6]

 

Keterangan senada disampaikan pula oleh Ibnu Umar[7], Ibnu Mas’ud[8], Imran bin Hushain[9], dan al-Barra bin ‘Azib. [10]

Dalam riwayat Abu Musa al-Asy’ari menggunakan bahasa hukum dengan akurasi tingkat tinggi: Haram, sebagai berikut:

حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ

Diharamkan pakaian sutera dan emas bagi laki-laki dari kalangan umatku dan dihalalkan bagi kaum perempuannya.” HR. At-Tirmidzi, dan ia menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula dari Umar, Ali bin Abu Thalib, ‘Uqbah bin ‘Amir, Anas, Hudzifah, Ummu Hani, Abdullah bin Amr, Imran bin Hushaun, Abdullah bin Zubair, Jabir, Abu Raihan, Ibnu Umar, Watsilah bin al-Asqa. [11]

Dalam riwayat an-Nasai dengan redaksi:

أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِي وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا

“Dihalalkan emas dan sutera untuk kalangan perempuan dari umatku dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya”. HR. An-Nasai. [12]

Diriwayatkan pula dari Ali bin Abu Thalib dengan redaksi:

أَخَذَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ حَرِيرًا بِشِمَالِهِ ، وَذَهَبًا بِيَمِينِهِ ، ثُمَّ رَفَعَ بِهِمَا يَدَيْهِ ، فَقَالَ : إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي ، حِلٌّ لإِنَاثِهِمْ

“Rasulullah saw. mengambil sutera dengan tangan kirinya dan emas dengan tangan kanannya, kemudian mengangkat keduanya, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya kedua barang ini haram untuk kalangan laki-laki dari umatku dan halal untuk kalangan perempuannya’.” HR. Ahmad dan Ibnu Majah. Redaksi ini versi Ibnu Majah. [13]

Sementara terhadap individu, antara lain Ali bin Abu Thalib, diterangkan sebagai berikut:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُبْسِ الْقَسِّيِّ وَالْمُعَصْفَرِ وَعَنْ تَخَتُّمِ الذَّهَبِ وَعَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي الرُّكُوعِ

“Dari Ali bin Abi Thalib, sesungguhnya Rasulullah saw. melarang memakai pakaian yang dibordir dengan sutera, yang dicelup warna kuning, bercincin emas, dan membaca Al-Quran pada ruku.” HR. Muslim. [14]

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

نَهَانِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ ، وَعَنْ لَبُوسِ الْقَسِّيِّ ، وَالْمُعَصْفَرِ ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنَا رَاكِعٌ

“Rasulullah saw. melarang saya memakai pakaian yang dibordir dengan sutera, yang dicelup warna kuning, bercincin emas, dan membaca Al-Quran ketika saya ruku.” HR. An-Nasai. [15]

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ وَالْقَسِّيِّ

“Rasulullah saw. melarang atau melarang saya memakai cingcin emas dan pakaian yang dibordir dengan sutera.” HR. Ahmad. [16]

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa pada mulanya dibolehkan bagi laki-laki mengenakan cincin emas, namun kemudian diharamkan. Di sini masih menyisakan pertanyaan, apakah pengharaman ini berkenaan dengan zat (benda semata) ataukah karena motif hukum (‘illat) tertentu?  Apakah masih terdapat celah terjadinya perubahan hukum haram itu kepada makruh? Temukan jawabannya pada sigabah edisi berikutnya

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1]Lihat, Tafsir ad-Durr al-Mantsur, II:162

[2]Ibid.

[3]Ibid.

[4]Lihat, Tafsir at-Thabari, III:198

[5]HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, VI:2450, No. 6275; dan Muslim, Shahih Muslim, III:1655, No. 2091.

[6]HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, V:2202, No. 5526, Muslim, Shahih Muslim, III:1654, No. 2089.

[7]HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1202, No. 3643.

[8]HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:392, No. 3715; Ath-Thayalisi, Musnad Ath-Thayalisi, I:51, No. 386; Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, X:210, No. 10.494.

[9]HR. Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, IV:261.

[10]Ibid.

[11]Lihat, Sunan At-Tirmidzi, IV:217, No. 1720.

[12]Lihat, Sunan An-Nasai, V:437, No. 9450.

[13]HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:96, No. 750; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1189, No. 3595.

[14]Lihat, Shahih Muslim, III:1648, No. 2078.

[15]Lihat, Sunan An-Nasai, VIII:191, No. 5268.

[16]Lihat, Musnad Ahmad, I:104, No. 816.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}