Preloader logo

BERAGAM UPAYA PENISTAAN AGAMA (Bagian Ke-1)

Beragam aksi yang dipertontonkan oleh berbagai pihak dalam menistakan Islam, menghina orang Islam, dan tentu saja memancing kemarahan orang Islam, hingga saat ini masih juga terjadi. Penistaan itu dilakukan baik terhadap ajaran-ajaran Islam dan simbol-simbolnya maupun “pagar pengaman” kesuciannya.

Penistaan terhadap ajaran dipertontonkan oleh aliran sesat atau gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia yang dewasa ini menjadi fenomena sangat populer seiring dengan sepak terjang dan catatan yang menyertainya. Aliran sesat atau gerakan sempalan menunjuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap menyimpang (devian) dari akidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat yang baku. Istilah sempalan itu sendiri ini memiliki konotasi negatif, seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran dan fanatisme.

Di Indonesia kesan negatif terhadap kelompok sempalan semakin menguat setelah kecenderungan gerakannya menjadi ancaman terhadap stabilitas dan keamanan berbangsa dan bernegara. Fakta terbaru tentang stigma ini seperti terlihat dari kelompok Ahmadiyyah di Kabupaten Kuningan Jawa Barat yang mengarah kepada perilaku anarkis. Tak pelak pemerintah merasa perlu membatasi gerakan-gerakan sempalan untuk mewujudkan keamanan dalam berbangsa dan bernegara. Keterlibatan pemerintah yang terkesan intervensi terhadap kelompok sempalan sangat beralasan, lantaran gerakan yang pernah dicap “sempalan” pada umumnya  telah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama  Indonesia (MUI). Beberapa contoh yang terkenal adalah  Islam Jamaah, yang sekarang ber-reinkarnasi menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), Ahmadiyah Qadian,  DI KW IX,  kelompok  Mujahidin  Warsidi (Lampung),  Syi’ah,   Baha’i, Inkarus Sunnah,  Darul Arqam  (Malaysia), al-Qiyadah al-Islamiyah, yang sekarang ber-reinkarnasi menjadi GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara), gerakan  Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, gerakan Bantaqiyah, Lia Eden, dan lain-lain.

Fenomena munculnya aliran-aliran agama baru dilatari perubahan sosial politik. Pudarnya rezim Orde Baru membuka simpul kekuasaan yang selama ini mengontrol kehidupan masyarakat. Euforia kebebasan ini dirayakan masyarakat dengan aneka ekspresi politik seperti lahirnya kebijakan multipartai. Sementara di wilayah agama, ekspresi tersebut ditandai dengan menjamurnya aliran-aliran agama. Kelompok atau jemaah seperti ini umumnya berakar dari komunitas agama induk (religious mainstream) yang lebih besar. Aliran atau kelompok baru tersebut bisa jadi merupakan revisi, kritik, atau bahkan titik balik terhadap ajaran-ajaran induknya.

Kemunculan komunitas sektarian berupa aliran keagamaan bermuara pada cara beragama (ekspresi) dalam merespons persoalan kontemporer dalam memperlakukan khazanah tradisi (at-turats) warisan para ulama klasik, bahkan terhadap ajaran pokok seperti Al-Quran dan Sunah. Perbedaan cara beragama ini termanifestasikan dalam hubungan sosial (hablum min an-Naas) serta tata cara interaksi dengan sesama (muamalah) yang termanifestasi dalam gagasan, ide, bahkan busana.

Kemunculan aliran keagamaan juga diakselerasi oleh semakin derasnya arus modernisasi-industrialisasi yang masuk dalam kehidupan masyarakat. Kelompok-kelompok agama merespons modernisasi secara berbeda-beda. Ada yang resisten terhadap modernism, namun ada pula yang akomodatif-interpretatif. Kelompok kedua menghasilkan pola dan model gerakan-gerakan keagamaan liberal dengan mengedepankan isu-isu demokrasi, liberalisme, pluralisme, dan jender.

Dengan dalih HAM, kaum Liberal selalu memperjuangakan “penghalalan yang haram” dan “pembelaan yang bathil”, seperti legalisasi miras dan ganja, bahkan narkoba, begitu juga positivisasi perjudian dan pelacuran, bahkan formalisasi perkawinan sejenis. Dengan dalih HAM pula, kaum Liberal selalu memperjuangankan “pengharaman yang halal” dan “penolakan yang haq”, seperti penolakan terhadap Undang-Undang Penodaan Agama dan Undang-Undang Pornografi, bahkan penolakan terhadap semua Undang-Undang dan Perda-Perda yang bernuansakan Syariat Islam.

Tentu kita masih ingat dengan upaya mereka untuk menggoyang dan menghapuskan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sudah sejak lama dilakukan. Pada 2010, tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM) secara ‘berjamaah’ mengajukan uji materi undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketujuh LSM itu adalah Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Mereka juga didukung oleh Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan Maman Imanul Haq.

Namun, upaya mereka gagal karena MK, yang ketika itu dipimpin Mahfud MD, menolak permohonan judicial review UU itu. “MK memutuskan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Mahfud MD ketika itu, Senin (19/4/2010). Dalam putusannya, Mahfud menjelaskan bahwa negara memang memiliki otoritas untuk mengatur masyarakat. Jika ada konflik, maka yang bisa memberikan paksaan untuk mengatur adalah negara.

Setelah kandas permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 itu, para penggugat UU tersebut rupanya belum mau menyerah. Jumat, 21 November 2014, Sebuah lembaga asing yang bergerak di bidang hak asasi manusia (HAM), Amnesty International (AI), menekan Presiden Jokowi supaya mencabut UU itu.
“Kami fokus pada undang-undang penodaan agama. Dan undang-undang itu harus dicabut. Pemerintahan baru harus dapat mengakhiri kriminalisasi keyakinan lewat UU Penodaan Agama yang bersifat menindas ini. UU Penodaan Agama di Indonesia ini menantang hukum dan standar-standar hukum international. Tapi kita sadar bahwa mencabut undang-undang itu perlu waktu perlu proses. Dan ini ada di luar kewenangannya eksekutif,” desak Direktur Riset Amnesty International untuk Asia Tenggara Ruppert Abbot, di Jakarta.

Abbot mengklaim sejak 2004 Amnesty International mencatat setidaknya 106 individu yang diadili dan dijatuhi hukuman menggunakan UU Penodaan Agama. Menurutnya mereka kebanyakan berasal dari agama minoritas atau keyakinan tertentu.
Abbot juga menyebut penggunaan UU Penodaan Agama meningkat pada dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Kasus-kasus penodaan agama, tuduh Ruppert hampir semuanya diajukan di tingkat daerah.

Selain aksi lembaga, aksi serupa dilakukan secara personal, misalnya oleh oknum pejabat tinggi di Kementerian Agama yang pura-pura tidak tahu soal UU Penodaan Agama ini. Bahkan sang pejabat berpandangan, Ahmadiyah—aliran sesat yang mengaku memiliki Nabi Mirza Ghulam Ahmad—tidak menodai Islam.

Republika Online, pada Ahad (23/11/2014) menurunkan sebuah berita dengan judul “Pemerintah Jokowi Bersiap Cabut UU Penodaan Agama.” Judul ini diambil berdasarkan wawancara media tersebut dengan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kementerian Agama Machasin.

Machasin, tulis Republika, mengatakan beberapa poin yang tertera dalam UU atau Penodaan Agama mesti dicabut maupun direvisi. “Sebagaimana diputuskan MK, pencabutan atau revisi atas UU tersebut itu akan dibuat jika sudah ada penggantinya,” kata Machasin yang baru sebulan menjabat sebagai Dirjen Bimas Islam. Sebelumnya, Machasin menjabat sebagai Kabalitbang Kemenag dan Staf Ahli Menag Bidang HAM.

Bahkan pada bagian lain, Machasin terang-terangan menyebut bila aliran sesat Ahmadiyah tidak menodai Islam. Machasin menganggap umat Ahmadiyah bukan bermaksud menodai Islam, tapi memang begitulah mereka meyakininya. “Dan memakai keyakinan itu untuk mereka sendiri,” ungkapnya, Ahad.

Tentu saja, pernyataan-pernyataan sumir sang Dirjen yang mestinya melindungi akidah umat itu mendapatkan bantahan dari tokoh-tokoh Islam. Sementara itu, menanggapi kontroversi soal pencabutan UU Penodaan Agama, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tegas membantah adanya rencana penghapusan UU tersebut. “Kementerian Agama tidak ada niatan sama sekali untuk mencabut atau menghapus keberadaan undang-undang itu,” jelas Lukman, Senin (24/11/2014).

Lukman menyatakan UU Penodaan Agama ini masih sangat penting dan masih sangat dibutuhkan keberadaannya dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk. Namun, Lukman membenarkan jika saat ini Kementerian Agama sedang mempersiapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Umat Beragama. RUU ini nantinya akan terkait erat dengan keberadaan UU Penodaan Agama. Lukman juga menegaskan, jika nantinya RUU tentang Perlindungan Umat Beragama disahkan, bukan berarti UU PNPS tahun 1965 akan hilang.

Penistaan Islam tidak berhenti pada aksi memperkosa ajaran dan mempreteli “pagar pengaman” kesuciannya, namun dilakukan pula terhadap simbol-simbolnya. Dalam setengah tahun terakhir banyak terjadi kasus pelecehan simbol-simbol Islam. Ada kasus peredaran sandal merek Nike dan Glacio dengan motif hiasan lafal Allah, bahkan kaligrafi surat al-Ikhlas. Sampul al-Quran dijadikan terompet. Lembaran al-Quran dijadikan kertas petasan. Celana bermotifkan kaligrafi surat al-Ikhlas. Loyang kue bertuliskan ayat al-Quran. Azan mengiringi nyanyian Natal dalam perayaan Natal yang dihadiri oleh Presiden Jokowi. Karpet sajadah dijadikan alas penari yang menarikan tari Saman lalu dilanjutkan para penari yang menarikan tari Bali dalam sebuah acara Kemenag DKI. Yang paling akhir adalah kasus yang diungkap oleh seorang netizen di akun facebook-nya pada Kamis (8/1/2016) bahwa ada sepatu merek La Koka bertuliskan kaligrafi Arab berupa penggalan QS Yusuf ayat 64: “fallâh khayrun hâfizhan”. Sepatu itu diduga dibeli di Surabaya (Hidayatullah.com, 9/1/2016).

Sandal dengan merek Glacio seri G-2079 keluaran sebuah perusahaan yang disingkat dengan PT. PPM, berlokasi di KM 33,2 di Jalan raya Wringinanom, perbatasan Surabaya-Gresik. Sandal itu diproduksi sebanyak puluhan ribu pasang sejak September 2014 serta dipasarkan di wilayah Surabaya, Sidoarjo, Malang, dan sekitarnya.

Bulan Mei 2015, perasaan ummat Islam “disayat” kembali dengan celotehan Ade Armando, dosen ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia (UI), ditwitter yang dinilai menyinggung perasaan umat Islam. Ade menulis; “Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayatNya dibaca dg gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues ….”

Tidak hanya dikecam, Ade dituding telah melakukan penistaan agama. Tak heran, seorang bernama Johan Khan melaporkannya ke Polda Metro Jaya pada Sabtu, (23/5). Ade dilaporkan atas tuduhan penistaan agama, yaitu pasal 156 A dan atau pasal 28 (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Langkah pelaporan dilakukan setelah Ade enggan meminta maaf usai diberi waktu 1×24 jam atas statusnya yang dianggap menghina umat Islam.

Sang Dosen pun sepertinya gentar juga dengan kecaman terhadapnya. Ade pun akhirnya membuat tulisan bantahan atas statusnya yang menyamakan Allah dengan makhluk. Melalui madinaonline.id yang dikelolanya, ia membuat tulisan berjudul ‘Allah Bukan Orang Arab. Allah Pencipta Orang Arab’.

Belum sembuh dengan luka lama, menjelang habis tahun 2015, perasaan ummat Islam “disayat” kembali dengan adanya terompet tahun baru 2016 yang terbuat dari sampul Al-Quran. Dari tampilannya, pada bahan baku terompet tersebut tertera tulisan Kementerian Agama RI tahun 2013 serta kaligrafi bertulisan Arab. Hal ini mudah dipahami karena bahan baku itu berasal dari sisa produksi perusahaan percetakan CV Aneka Ilmu Semarang, rekanan Kementerian Agama pada 2013. Menurut Suwanto, pemilik CV Aneka Ilmu Semarang, perusahaannya menerima proyek untuk membuat 1,6 juta Al-Quran dari Kementerian Agama saat kepemimpinan Menteri Suryadharma Ali. “Total produksi untuk seluruh proyek tersebut sekitar 80 ton,” katanya.

Pada saat proses produksi mencapai 75 persen, kata dia, lokasi produksi perusahaannya sempat terkena bencana banjir. Dari keseluruhan produksi itu, lanjut dia, hanya 200 ribu eksemplar yang bisa terselamatkan dan dalam kondisi baik. Cetakan yang terselamatkan tersebut kemudian disimpan dengan harapan ketika kembali memperoleh proyek dari Kementerian Agama pada tahun berikutnya, barang sudah tersedia. “Siapa tahu dapat proyek lagi, tapi ternyata tidak,” katanya. Sebagian hasil cetakan tersebut sempat disumbangkan ke sejumlah masjid. Adapun sisa lainnya, kata dia, dimusnahkan dengan standar prosedur yang sudah ditentukan. Ia menjelaskan pemusanahan diserahkan kepada pengepul untuk dijadikan bubur kertas. Dalam kasus tersebut, CV Aneka Ilmu menyerahkan kepada pengepul asal Klaten bernama Sunardi yang sudah bekerja sama sejak lama. Bendaha Majelis Ulama Indonesia Wilayah Jawa Tengah tersebut tidak tahu jika sisa produk perusahaannya justru disalahgunakan untuk membuat terompet.

Ternyata upaya penistaan dan pelecehan terhadap ummat Islam tidak hanya berhenti di situ, ada yang lebih dahsyat di acara peringatan Natal Nasional, yang diadakah di Kupang, NTT, tepatnya di rumah Gubernur NTT (28/12/15).

Dikabarkan bahwa pada acara itu hadir sekitar 10.000 orang. Bahkan Presiden Jokowi dan beberapa menteri ikut hadir. Di saat itulah dikumangkan adzan yang mengiringi lagu rohani ‘Ave Maria’. Anehnya lagi, adzan itu dikumandangkan oleh seorang ustadz yang bernama Umarba, seorang imam di Masjid Oepura. Kumandang azan itu mengiringi lagu karya Schubert, yang dinyanyikan oleh Reny Gadja dari gereja Musafir Indonesia.

Anehnya lagi, Ustadz Umarba malah mengaku senang bisa turut berkontribusi bagi umat Kristiani pada perayaan Natal Nasional 2015. Menurutnya, melodi baru yang tercipta dari azan dan lagi Ave Maria itu menunjukkan bahwa perbedaan pun bisa disatukan. Dia bahkan menyatakan, “Kita satu keluarga. Alangkah baiknya hidup rukun dan damai.” (Lihat, www.tribunnews.com, “Tak Hanya Kumandang Azan, Qasidah pun Berkumandang di Perayaan Natal Nasional”, 28/12/2015).

Mirisnya, Natal Bersama Nasional 2015 di Kupang, NTT itu tak hanya menampilkan kolaborasi azan dan lagu rohani Kristen. Acara itu juga menampilkan lagu qasidah dari komunitas pengajian ibu-ibu di Kupang. Mereka membawakan lagu yang dipopulerkan oleh grup legendaris Nasida Ria.

Tahun 2015 rupanya bukan akhir dari penistaan agama Islam, karena tak lama berselang setelah hiruk pikuk perayaan tahun baru 2016, kembali dipertontonkan atraksi menari yang dilakukan di atas sajadah yang biasa digunakan untuk shalat. Ironisnya, aksi mencoreng symbol itu dilakukan dalam acara Kementerian Agama RI memperingati Hari Ulang Tahun atau Hari Amal Bakti ke-70 yang jatuh pada tanggal 3 Januari 2016 di halaman Kantor Kementerian Agama (Kemenag) di Jalan Lapangan Banteng Barat, Pasarbaru, Jakarta Pusat, Minggu (3/1/2016). Tentu saja, acara lembaga yang mestinya melindungi akidah umat dan symbol Islam itu mendapatkan kecaman dari berbagai pihak.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Sumber: Majalah Risalah No. 11 Th.53, Pebruari 2016

There is 1 comment
  1. Sayangi dan hormati KAFIR jimmi..Perangilah mereka orang orang Munafik..
    Satu KatA AYO BERJIHAD DENGAN HARTA,JIWA..

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}