Preloader logo

Adu data kemiskinan antara SBY dan pemerintah

Perbedaan data jumlah penduduk miskin di Indonesia menjadi bahan perdebatan hangat antara pemerintah dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Polemik ini muncul tatkala SBY menyebut ada sekitar 100 juta orang yang masuk dalam kategori miskin. Pernyataan tersebut diutarakan oleh SBY usai bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (24/7/2018).

Presiden keenam RI itu mengatakan jumlah orang miskin menjadi satu dari lima persoalan yang menjadi perhatiannya saat ini. Di samping itu SBY juga menyoroti persoalan hukum, politik, sosial dan ideologi negara.

“Yang paling penting menyangkut ekonomi dan kesejahteraan rakyat adalah penghasilan atau income dan daya beli golongan orang mampu dan golongan orang miskin yang kita sebut dengan the bottom forty, 40 persen kalangan bawah yang jumlahnya sekitar 100 juta orang,” kata SBY dikutip dari CNNIndonesia.com, Kamis (2/8).

Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Marwan Cik Asan, memastikan bahwa angka yang disebut SBY itu sudah berdasarkan perhitungan yang matang.

Ia menjelaskan, SBY menggunakan data Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan. Menurut Bank Dunia, seorang bisa dikategorikan miskin apabila penghasilannya di bawah 2 dolar AS per hari.

Dengan asumsi kurs 1 dolar AS sama dengan Rp13.000, maka diperoleh angka Rp26.000 per hari atau Rp780.000 per kapita per bulan.

“Maka, penduduk miskin Indonesia masih sangat tinggi, yakni diperkirakan mencapai 47 persen atau 120 juta jiwa dari total populasi,” kata Marwan.

Pernyataan SBY dan Demokrat tersebut langsung mendapat sanggahan dari sejumlah pejabat dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ada yang menilai angka yang disebut oleh SBY tersebut tidak valid dan tidak tepat.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pun turut menanggapi pernyataan SBY soal 100 juta orang miskin di Indonesia. Dia meminta SBY melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) yang sudah teruji keabsahannya.

BPS mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2018 turun menjadi 9,82 persen dengan total penduduk miskin sebanyak 25,95 juta orang. Ini adalah angka terendahsepanjang sejarah Indonesia.

Jumlah penduduk miskin itu berkurang 633,2 ribu orang dibandingkan September 2017 sebesar 26,58 juta orang atau 10,12 persen dari total penduduk.

“Itu datanya BPS sudah tentu valid,” kata JK dikutip dari Merdeka, Kamis (2/8).

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno, meminta kepada SBY agar tidak berasumsi terkait angka kemiskinan yang ada di Indonesia serta melihat data yang sudah dirilis oleh BPS. “Lihat aja data statistik. Jadi ini jangan ada asumsi. Lihat aja data statistik,” ujarnya.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, mengatakan penghitungan yang dilakukan oleh SBY adalah tidak benar. Menurutnya, untuk penghitungan garis kemiskinan Bank Dunia tidak menggunakan nilai tukar kurs dolar sebagaimana yang dipakai dalam kurs sehari-hari.

“Dalam penghitungan tersebut disampaikan bahwa kursnya Rp13.300, sedangkan Bank Dunia dalam penghitungannya menggunakan nilai tukar sebesar Rp5.639 untuk tahun 2018 ini,” kata Nufransa dalam keterangan resmi yang diterima Beritagar.id, Rabu (1/8).

Nilai tukar ini berbeda karena memperhatikan Purchasing Power Parity (PPP) atau daya masyarakat dalam membeli. Nilai tukar PPP didapat dengan memperbandingkan berapa banyak yang diperlukan untuk membeli sekeranjang barang dan jasa yang sama di masing masing negara.

Untuk Indonesia, garis kemiskinan 1,9 dolar PPP untuk tahun 2018 setara dengan Rp321.432 per kapita per bulan. Ini berarti 1,9 PPP angka kemiskinan untuk Indonesia adalah 4,6 persen dan jumlah orang yang di bawah garis kemiskinan adalah sekitar 12,15 juta jiwa.

Sedangkan angka kemiskinan nasional Indonesia yang baru dikeluarkan BPS menunjukkan angka 9.82 persen dengan jumlah orang miskin sebesar 25,95 juta jiwa.

“Jadi jumlah orang miskin berdasarkan 1,9 dolar PPP jauh lebih kecil dari 100 juta dan bahkan jauh lebih kecil dari jumlah orang miskin berdasarkan garis kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS,” jelasnya.

Klarifikasi lewat Twitter

Setelah mendapat banyak sanggahan melalui media, SBY lantas langsung mengklarifikasi pernyataan 100 juta penduduk miskin melalui 17 cuitan dalam akun Twitter, Rabu (1/8).

“Biasanya dalam musim pemilu, kalau berbeda posisi langsung DIHAJAR,” tulis SBY yang memang menulis kata “dihajar” dengan huruf kapital. “Saya bukan tipe manusia seperti itu. Kalau benar harus saya dukung.”

Ia menyebut banyak yang salah dalam mendefinisikan istilah “the bottom 40“. Kelompok ini, menurutnya, digunakan oleh Bank Dunia untuk mengklasifikasi penduduk “golongan bawah” di masing-masing negara.

Menurut dia, di negara berkembang yang angka pendapatan per kapitanya belum tinggi; mereka termasuk kaum sangat miskin, kaum miskin, dan “di atas miskin” (near poor).

Kelompok ini, kata SBY, yang mesti dibebaskan dari kemiskinan dan ditingkatkan taraf hidupnya. Sebab, mereka sangat rawan dan mudah terdampak jika ada kondisi ekonomi tertentu seperti kenaikan harga sembako.

SBY juga menceritakan pengalamannya menjadi Ketua High Level Panel di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama Presiden Liberia Ellen Sirleaf Johnson dan PM Inggris David Cameron pada Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Saint Petersburg, Rusia, September 2013.

Panel ini dilakukan dalam rangka persiapan pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) atau kelanjutan dari (MDGs) Tujuan Pembangunan Milenium. Saat itu, kata SBY, konsep “the bottom 40” pun menjadi perhatian utama.

Lumrah berbeda

Di mata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, perbedaan dalam menyajikan statistik merupakan hal yang lumrah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan metode yang digunakan dalam mengukur suatu indikator.

“Mengenai BPS, tidak ada yang salah, karena BPS itu metodologinya menghitung angka kemiskinan dari 2.100 kalori (kebutuhan pangan). Ya itu wajar kalau angkanya (Maret 2018) turun,” ujar Enny kepada Beritagar.id, Kamis (2/8).

Enny pun memperkirakan bahwa SBY menghitung angka kemiskinan dengan metode atau standar yang berbeda dengan BPS dan mengacu pada cara penghitungan internasional seperti Bank Dunia.

Hingga akhirnya kedua data masing-masing pihak berbeda. Jadi menurut Enny, ini hanya masalah perbedaan menginterpretasikan metodologi dalam mengukur kemiskinan.

“Ya perbedaan ketika menginterpretasikan antar-metodologi untuk mereplika realitas. Kalau kita ini kan mestinya bagaimana memotret data untuk melihat realitas. Nah,mestinya harus diukur dengan perkembangan dari realitas di masyarakat,” jelasnya.

sigabah.com | beritagar.id

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}